Dengan seringai menakutkan ditatapnya wajah istrinya. Wanita malang itu memandang tak mengerti pada dirinya, namun begitu dilihat tangannya yang terbalut perban terangkat perlahan, seketika wajah istrinya berubah pias.

Mata itu berkaca-kaca, tahu maksud dari suaminya ini. Inilah yang harus ditanggungnya, ini memang takdirnya. Namun permohonan itu tetap saja keluar dari mulutnya. Terlalu takut akan kesakitan yang menantinya.

“Jangan, Tan…”

Percuma, permohonannya tak terindahkan. Bahkan tangan itu sudah ada didepan wajahnya, dengan penuh tekanan, otot yang menegang, dan siap untuk menyakitinya. Gelas kosong yang ada di genggamannya terjatuh, namun teredam oleh tebalnya karpet dibawah kaki mereka. Bahkan ia tak punya kesempatan meminta pertolongan dengan suara pecahan gelas yang ternyata tak pecah.

“Rasakan ini, Lana.” Suara suaminya terdengar, perlahan matanya tertutup pasrah. Ia tahu akhirnya akan seperti ini.

Ptakk!

Aww!!”

Lana mengelus kasar jidatnya yang baru saja disentil dengan sekuat tenaga oleh Tirtan. Segera ia menjauhkan tubuhnya dari Tirtan, duduk di sudut terujung sofabed mereka di ruang keluarga, meninggalkan Tirtan duduk sendirian di tengah-tengah sofabed tersebut.

“Kok barusan situasinya kayak horor banget ya?” Gumam Tirtan tiba-tiba.

“Emang horor! Kamu itu drama banget tau gak! Mau nyentil aja pake situasi mencekam dulu. Ckckckck.” Rutuk Lana langsung pada Tirtan.

“Makanya kalo ngintip jangan setengah-setengah.” Ucap Tirtan tajam.

“Siapa yang salah coba? Kamu kenapa nggak marah saat dicium sama dia?” Lana masih mengusap-usap bekas sentilan Tirtan yang tanpa disadarinya kini terlihat memerah, membangkitkan seketika rasa bersalah Tirtan yang melihat warna merah tersebut.

“Aku tak marah, karena itu berarti terakhir kalinya bagi Erisa bisa menciumku. Setelah itu takkan pernah lagi. Lagian aku juga terlalu kaget untuk marah, dia menciumku tiba-tiba.”

Lana mendelik sangar. “Aku kan tidak tahu itu berarti terakhir kalinya bagi dia.” Tangan Lana masih memegang dahinya. “Setelah tadi dijelaskan sama Erisa baru aku ngerti. Kamu juga sih, nggak berbakat banget dalam memberi penjelasan. Yang kamu lakukan hanya minta maaf saja, otomatis aku akan berpikiran yang terburuk kan?”

“Aku sudah ingin menjelaskan, hun… Tapi karena surat cerai dimeja makan tadi pagi pikiranku langsung blank. Kamu itu tega ya? Sampai bawa-bawa surat cerai segala. Memangnya kamu benar serius mau cerai?”

“Mana mungkin! Yang punya suami kan aku! Masa aku kasih cuma-cuma sukarela ke orang lain sih? Sudah sampai sini juga kita jalanin masa aku mau cerai sih?” Cetus Lana tanpa ragu.

Tirtan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak tahu mesti berkata apalagi. Istrinya ini benar-benar ajaib, pemikirannya tak tertebak bahkan oleh suaminya sekalipun. Kedua tangannya Terangkat mengambil posisi dikedua pipi Lana, dengan gemasnya dicubit pipi tersebut kuat-kuat.

Aww!!”

“Sekali lagi kamu ulangi, pipimu ini bukan kucubit lagi, tapi kugigit!”

“Sudah dong, Tan… Aku kan sudah minta maaf. Ini jidatku aja masih sakit.” Tangan Lana kembali menggosok-gosok jidatnya yang masih merah bekas sentilan Tirtan tadi.

Tirtan segera beringsut mendekati Lana. “Hentikan itu,” Ditangkapnya tangan Lana yang masih mengusap-usap bekas sentilan Tirtan. “kamu membuatnya semakin merah.”

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now