“Aku cuma masak.”

Tirtan masih tetap mendekap Lana, sedangkan istrinya tetap memasak tanpa menghiraukannya sama sekali.

“Lepas. Aku lagi sibuk.”

Tirtan segera melepas pelukannya, tak ingin membangkitkan kemurkaan istrinya seperti tadi malam.

Yang dilakukan Tirtan hanyalah mengekori tiap langkah Lana dan juga berpikir bagaimana menjelaskan permasalahan ini pada istrinya. Ia tak sanggup bila istrinya terus bersikap seperti ini, menjaga jarak darinya.

Lana selesai memasak dan meja makanpun sudah siap berkat bantuan Tirtan. Mereka berdua duduk dan memulai prosesi makan mereka. Lana tampak datar-datar saja menurut pengamatan Tirtan.

“Sayang, ” Akhirnya Tirtan bersuara setelah mengumpulkan keberaniannya.

Lana yang sedang berkonsentrasi dengan makanannya mengangkat wajah dan menatap Tirtan dengan ekspresi bosan.

“Hmm?”

“Aku tahu kesalahanku.”

“... ”

“Erisa, kan?”

Genggaman tangan Lana mengetat di sendok dan garpunya. “Berarti kamu sudah siap menandatangani surat cerai ini?” Ucap Lana sambil mengangsurkan kertas yang ada disudut meja makan.

Tirtan melongo tak percaya kemudian segera meraih kertas tersebut, ingin mengetahui ucapan istrinya hanya gertakan semata atau bukan, dan ternyata bukan.

“Sayang, ini bukan seperti dugaanmu.” Kepanikan mulai melanda Tirtan. Kalimat penjelasan yang telah tertata rapi dikepalanya berhamburan kesegala arah.

Lana menaikkan sebelah alisnya dan berucap dengan bosan. “Intinya kamu ketemuan dengan dia dibelakangku kan?”

“Iya, tapi- “

Stop it. Aku nggak ada waktu. Aku mau ke rumah mama.” Lana segera beranjak dari meja makan tanpa repot-repot menghabiskan makanan yang ada dipiringnya. Tirtan yang melihat itu segera bangkit mengejar Lana yang kini telah sampai di counter tempat cuci piring.

“Kamu jangan lari dari masalah. Kita kan bisa membicarakannya baik-baik.”

“Maaf saja, Tan. Aku tak lari dari masalah, kamu tak sepenting itu. Aku memang ada janji dengan mama untuk berkunjung semenjak minggu lalu.”

Tirtan seketika dapat bernapas lega mendengar  ucapan Lana barusan.

“Sekarang, permisi. Kamu menghalangi jalanku.” Ucap Lana datar.

Tirtan segera menggenggam tangan Lana. “Aku antar, hun.”

“Tak perlu. Kamu urus saja surat cerai itu.”

Tirtan lupa masih ada surat cerai itu. Sial!

“Kita takkan bercerai. Aku takkan mengurus surat cerai itu. ”

Lana memandang sinis pada Tirtan, “You’re not? Then I will. Problem solved.” Dihentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Tirtan. Segera diraihnya tas tangannya yang sudah ia siapkan sedari tadi kemudian mulai melangkah keluar rumah.

Tirtan tak ingin menyerah begitu saja. Tahu pasti ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan agar ia dapat terus bersama dengan istrinya ini. “Kumohon maafkan aku, hun. Kamu jangan seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik. Akan kulakukan apapun agar kau mau mendengarkan penjelasanku.”

“Cerai. Aku mau cerai. ” Langkah Lana semakin cepat menuju garasi.

Except that, of course.

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now