18. Nila Setitik

Mulai dari awal
                                    

Bukan berarti karena segala kontak fisik itu akan berakhir diranjang, semenjak tahu kehamilan Lana ia dengan penuh komitmen menjadi saaaaangaaaaat mengurangi frekuensi kegiatan 'itu' dengan istrinya. Lana pun tak keberatan. Tapi kontak fisik lain selain 'itu' tak terganggu sama sekali.

Nah, saat ini bahkan bertatapan mata dengannya saja Lana enggan. Hormon wanita hamil kah itu? Atau sekali lagi, hanya perasaannya sajakah? Seperti saat ini, saat ia pulang dari kantornya dan Lana yang menyambutnya dengan tanpa sapaan sama sekali. Wanita itu tetap berkutat di depan laptopnya, mengabaikan dirinya dan dunia.

"Sebaiknya kamu cuti dulu, sampai kamu baikan, hun." Tegur Tirtan melihat Lana yang sangat serius dengan pekerjaannya di laptop.

"Ini aku lagi cuti." Lana menjawab tanpa mengalihkan matanya dari layar laptop itu. Tirtan jadi iri dengan apapun yang sedang diamati oleh istrinya itu.

"Cuti itu berarti kamu juga tak kerja."

Lana akhirnya memandang Tirtan, dengan menaikkan satu alisnya. "Terus yang ngurus kerjaan aku siapa?" Lana bertanya dengan tidak sabar.

"Kamu bisa suruh asistenmu, atau bawahanmu yang selalu kamu andalkan itu." Saran Tirtan.

"Nania?"

"Iya." Tirtan menganggukkan kepalanya, akhirnya mengingat nama bawahan Lana.

"Ogah." Jawaban Lana membuat Tirtan geleng-geleng kepala.

"Honey-"

Lana memotong ucapan Tirtan dengan tak sabar. "Aku punya kewajiban, jadi aku akan tetap menjalankan kewajibanku, Tirtan."

"Tapi saat ini kamu mesti istirahat, sayang." Tirtan masih berusaha meyakinkan Lana.

"Coba kamu bayangkan kalau kamu mesti ngambil cuti karena sakit dan istirahat dirumah tanpa melakukan apa-apa, sedangkan kamu tahu kamu punya tanggung jawab yang besar untuk perusahaan kamu. Yang ada rasanya pasti bakalan menyiksa dan juga membosankan." Terang Lana panjang lebar. Kedua lengannya membentuk gestur merentangkan, membuka, menutup bahkan menghentak tak sabaran sembari menjelaskan pada Tirtan.

"Tak apalah bosan, yang penting sehat." Jawab Tirtan dengan tenang, berusaha menstabilkan emosi Lana yang sepertinya menunjukkan tanda-tanda akan meningkat.

"Kamu gampang berbicara seperti itu, karena kamu tidak dalam posisiku."

Tirtan meneguk ludah, sepertinya emosi istrinya betul-betul mulai meningkat. "Aku memikirkan posisimu, sungguh."

"Kamu gampang bicara begitu, seenaknya saja memerintahkan keputusanmu!" Ucap Lana dengan ketus. Berdiri menghadapi Tirtan.

"Aku tak memerintah, aku cuma ingin menjagamu, sayang." Tirtan berusaha menenangkan Lana, menyingkirkan pikiran yang dianggapnya tak logis yang bercokol di kepala Lana.

Lana tetap keras kepala. "Kamu tak ingin menjagaku. Kamu hanya ingin memerintahku."

"Kenapa kamu bilang begitu?" Mau tak mau kestabilan emosi Tirtan sedikit mulai terguncang.

"Aku begini karena kamu."

"Coba kamu jelaskan, kenapa kamu bilang seperti itu." Datar nada suara Tirtan menandakan dirinya yang berusaha mengontrol ketenangan dirinya.

Dan jawaban Lana tidak membantu sama sekali. "Pikir saja sendiri."

"Lana, aku tahu kamu tak bermaksud berkata seperti itu."

Lana tersenyum sinis. "Kamu salah. Aku memang bermaksud."

Tirtan terkaget, tak mengerti mengapa Lana berusaha menyerangnya. "Kalau kamu memang bermaksud, sebaiknya kamu jelaskan kepadaku."

It's a Life Disaster!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang