Lana hanya bisa mengerutkan dahi melihat semangat Nania. "Justru bagus kan? Aku bisa kerja tanpa terganggu."

Nania menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan di depan Lana. "Nggak seru, mbak. Kayak durian, kalau nggak ada bau durennya pasti nggak bakalan seru dimakannya. Nah kalau hamil nggak ada muntah-muntahnya juga kayak nggak berasa hamilnya."

"Dasar! Emang kamu nggak bakalan ngerasa lah! Yang hamil kan aku, bukan kamu. Gimana sih?" Lana gemas juga dengan bawahannya yang satu ini.

"Hehe, woles mbak. Aku kan cuma mengatakan pendapatku aja." Nania cengengesan tak jelas melihat Lana yang mulai gemas alias sebal kepadanya. Dibimbingnya Lana untuk kembali berjalan setelah sempat terhenti karena melihat-lihat perhiasan yang terpajang di toko.

Jam Istirahat dihabiskan Lana dengan berjalan dan bercakap santai bersama Nania. Mereka membicarakan desain-desain tas terbaru sekaligus mencuci mata melepas kepenatan disebuah mall. Begitu melihat kedai Coffe Caffe terdekat mereka memutuskan untuk singgah dan menikmati cappuccino.

Baru saja memasuki kedai yang interiornya berwarna krem dan cokelat tersebut, Lana menangkap sosok yang dikenalnya dengan sangat familiar. Sosok yang tengah duduk di sudut ruangan itu menyampinginya sambil terus terfokus pada koran yang sedang direntangkannya.

Tidak heran, mall ini memang dekat dengan kantornya.

Lana tersenyum dan meminta tolong Nania yang tidak menyadari keberadaan Tirtan untuk memesankan cappuccino mereka. Begitu Nania berlalu, ia berjalan perlahan menyusuri meja dan kursi mendekati Tirtan yang sedang larut dalam bacaannya, mengikuti keinginannya yang tiba-tiba ingin mengecup pipi Tirtan yang lagi menganggur. Masih ditengah-tengah ruangan ia terhenti seketika melihat sosok yang dikenali dan dibencinya semenjak pertama kali mereka bertemu muncul keluar dari lorong menuju arah toilet yang memang letaknya dekat dari tempat duduk Tirtan.

Erisa berjalan dengan santai kearah Tirtan kemudian duduk dihadapannya. Tirtan yang tengah asyik membaca menengadahkan kepalanya kemudian nampak menanyakan sesuatu ke Erisa dan dijawab dengan seyum manja oleh Erisa. Lana terpaku menatap pemandangan di depannya, ia tidak dapat mendengar pembicaraan mereka lantaran musik yang mengalun lembut dari speaker kafe tersebut. Yang membuat Lana kesal karena tampaknya kedua orang itu berbincang dengan nada rendah seperti tidak ingin terdengar oleh orang lain.

Mungkin masalah bisnis. Lana berusaha berpikir positif.

Diliriknya Nania yang masih dalam antrian yang lumayan panjang untuk memesan, ia kemudian memilih kursi didekat pohon palem tiruan yang cukup besar yang ada di tengah ruangan, sehingga dengan bebas ia dapat mengawasi Tirtan dan Erisa tanpa terdeteksi.

Aku kenapa sih? Bukannya dia suamiku? Kenapa aku yang mesti sembunyi? Lana menggerutu sendiri dalam hati sambil ekor matanya terus mengawasi Erisa dan kelakuannya.

Pasti Erisa yang memaksa mengajak Tirtan kemari, pasti. Lana berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Selama ini memang mereka tidak pernah mengungkit lagi topik tentang Erisa semenjak terakhir kali saat mereka masih bertunangan, yang berakhir dengan perang urat saraf.

Tapi bukan berarti Tirtan sudah melupakan Erisa kan? Bisa jadi ia masih menyimpan rasa dengan Erisa. Bibit keraguan tampaknya mulai tumbuh dihati Lana. Membuat dadanya semakin sesak. Baru disadarinya semenjak tadi ia meletakkan tangan kanannya di depan dada seakan mencegah dan mengantisipasi hatinya agar tidak patah.

Lana menarik napas terkejut tatkala melihat Erisa yang beranjak berdiri kemudian membungkuk dihadapan Tirtan dan mengecup mesra bibirnya. Dilihatnya sorot mata Tirtan yang agak terkejut tapi kemudian segera menghilang, tak terbaca.

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now