Enggar tersenyum sendu. "Kesalahan yang fatal, Lan. Fatal."

"Apa itu? Coba katakan, siapa tahu aku bisa bantu masalahnya." Desak Lana tulus.

Enggar menatap kalut pada Lana, seakan berperang dalan hatinya untuk mengatakan yang sebenarnya atau hanya memendam dalam diam. Semakin dipikirkannya semakin membuatnya tersiksa, namun apa mau dikata, semuanya telah terjadi.

"Aku main hati." Akhirnya Enggar mengakuinya dengan berat hati. Menyesalkan perasaannya yang tak yahu diri.

Lana tercekat. "Maksudnya? Kamu selingkuh?"

Enggar meringis kemudian menggeleng lemah. "Aku tidak selingkuh, hanya main hati."

"Apa bedanya?" Lana berpikir keras dan akhirnya ia mengerti. "Maksudmu kamu suka sama orang lain?"

Enggar dengan terpaksa mengiyakan tebakan Lana. Toh, dirinya sudah berniat menceritakannya pada Lana, jadi diputuskannya untuk tak setengah-setengah mengakui dosanya.

Sementara itu Lana terdiam kaget mendapati kenyataan ini, dipikirnya Enggar dan Nita saling mencintai satu sama lain, mengapa Enggar masih bisa main hati?

"Tega-teganya kamu, Gar." Dihempaskan tangannya yang ternyata masih berada dalam genggaman Enggar, seolah orang didepannya ini bukanlah orang yang dikenalnya yang pantas mengenggam jemari tangannya.

Enggar tersenyum pasrah. "Aku tak menyangkanya, Lan. Kupikir itu perasaan yang lain, namun Nita berhasil membuatku mengakuinya."

"Siapa orang itu, Gar? Dia tahu perasaanmu?" Lana mendesak Enggar, ingin tahu orang seperti apa yang berhasil membuat Enggar seperti ini.

"Dia tidak tahu."

"Siapa orang itu." Lana dengan keras kepala terus mendesak Enggar.

Enggar menatap Lana lama. Lana balas menatap Enggar dengan penasaran.

Tatapan Enggar tak seperti biasanya, seolah-olah tatapan tersebut menyiraykan sesuatu yang dalam. Perlahan, pengertian itu akhirnya muncul dikepala Lana.

Dengan jantung yang mencelos digelengkannya kepalanya, berharap ini hanya mimpi, entah mimpi indah ataukah mimpi buruk.

***

"Honey? Kamu kenapa?" Tanya Tirtan malam itu melihat wajah Lana yang tampak berpikir keras sedangkan tayangan didepannya menampilkan tayangan komedi.

"Nggak."

"Kerjaan lancar kan?" Tirtan masih berusaha menggali penyebab kesusahan hati istrinya yang mood-mood an ini.

"Iya, lancar aja."

Tirtan berjalan menghampiri Lana. Duduk disampingnya di sofa itu. "Kamu kayaknya lagi banyak pikiran, ada apa?"

Lama Lana tak menjawab pertanyaan Tirtan. Disandarkan kepalanya dibahu Tirtan, mencari kenyamanan.

"Ng, Tan." Lana mendongak dari sandarannya di bahu Tirtan.

"Apa, hun?"

"Sebenarnya ada yang ingin kuberitahu." Suara Lana terdengar ragu.

"Tentang?"

Dengan takut-takut Lana menelan ludah. "Enggar."

Dahi Tirtan berkerut.

"Ada apa dengannya?"

Lana berpikir keras, bimbang dengan pengakuannya. Haruskah diberitahunya Tirtan atau tidak? Dan akhirnya kejujuran itulah yang menang.

"Dia akan bercerai." Lana mengucapkannya pelan, namun jantungnya tetap berdebar mengkhawatirkan. Lana dapat merasakan badan Tirtan yang tiba-tiba menegang.

It's a Life Disaster!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang