Perkenalan

2.8K 199 9
                                    

Suara bising dari rententan klakson terdengar samar-samar, langit gelap tanpa ada setitik cahaya dari sang bintang. Harmoni rintik hujan yang membentur jendela terdengar begitu jelas ditengah keheningan yang tercipta.

Wanita berumur dua puluh delapan tahun didepannya tak lagi bersuara semenjak menerima telepon dari seseorang yang amat ia kenali.

Lelaki itu mendesah, mengusap wajahnya kasar lalu kembali menatap wajah tanpa ekspresi yang ditampakkan wanita itu. Cafe bernuansa Japan yang terletak tak jauh dari bandara kota London ini sedang ramai pengunjung, dinginnya hujan seakan sirna saat menyicipi berbagai jenis tea yang terkenal dari negeri Matahari Terbit itu.

"Aku masih tak percaya." lirih lelaki itu memecah keheningan, menatap mata biru yang sebiru samudera itu lamat-lamat tak memperdulikan lagi kakinya yang keram karena duduk dengan posisi bersila. Cafe ini memang tak menyediakan sofa atau kursi, sesuai adat Jepang yang cinta kesederhanaan.

"Kau harus. Ini fakta."

Sekali lagi lelaki itu mendesah, "Aku tak menyangka harus berbuat ini padanya. Ia bahkan hampir saja membuat adikku mati."

Bibir merah muda Rowena terkatup rapat, memperjelas harmoni benturan hujan yang sempat redam.

"Kenapa kau menghapus ingatannya, jika memang kau tahu Justin masih hidup?" Lanjutnya lagi.

Rowena menyesap green tea hangatnya, meletakkan cangkir berwarna putih bercorak khas itu ke atas meja lalu menjawab dengan datar, "Aku hanya menjaga Lena tetap aman sebelum Justin hidup, Ludwig. Ia berpotensi untuk bunuh diri saat itu."

"Huh," Ludwig menghela nafas kasar, "Baiklah, jika ini semua tentang Lena. Gadis itu pantas mendapat kebahagiaan setelah kematian Alice."

"Tapi Zac?" Lanjutnya cepat. Rowena menatap lelaki itu penuh tanya, cangkir yang sudah berada di depan bibirnya ia letakkan kembali ke atas meja.

"Zac?" ulangnya, "Kau mengenalnya?"

Kerutan kecil muncul di kening Ludwig, "Aku kira kau yang menyuruh Zac untuk menjaga adikku."

"Tidak," Rowena menggeleng, "Aku memang tahu dia tinggal di London tapi aku tak tahu sama sekali bahwa ia dekat dengan Lena."

Ludwig terdiam. Bukan karena Zac tapi karena perubahan raut wajah wanita berambut coklat keemasan di depannya.

"Seberapa dekat hubungan mereka?"

Ludwig menerawang, "Sangat dekat." Ia berhenti sejenak lalu menatap wajah Rowena lekat, "Aku bahkan berpikir mungkin mereka sepasang kekasih sekarang." Lanjutnya.

Rowena menahan nafasnya. Tiba-tiba saja bayangan ramalan 'pertikaian saudara' terlintas di otaknya. Ia benci jika ramalan itu selalu benar. Wanita itu tersentak ketika Ludwig bangkit berdiri seraya menjinjing tas tangannya.

"Aku harus pergi ke bandara sekarang." Ucapnya.

Rowena mengangguk. Saat punggung Ludwig terlihat menjauh, wanita itu kembali melamun. Sudah cukup penderitaan ini. Sudah cukup.

--------

Sang surya berjalan perlahan kembali ke dunia, burung-burung berkicau menari di langit biru muda yang mengusir kegelapan. Sinar-sinar terang lampu satu-persatu padam, menyisakan sinar mentari yang menyelusup dari balik kaca bening.

Pelupuk mata itu perlahan bergerak membuka, menampilkan manik mata coklat yang bersinar diterpa cahaya surya, bergerak menyusuri seluruh ruangan yang bernuansa dark dengan warna kelabu pada dindingnya. Aroma maskulin menyeruak berebut masuk ke indra penciumannya. Satu kata yang terlintas dipikirannya saat menghirup aroma itu -Justin-.

Lena Lee : When You ComebackWhere stories live. Discover now