Chapter 1

405K 12.8K 175
                                    

"If this was a movie" part 1

Sudah berjam-jam sahabatku yang tolol, yaitu Selena Collins, menangis di kamarku sambil menebarkan persediaan tissue-ku di setiap sudut kamarku, menebar kata sumpah serapah, dan meninju-ninju bantal Spongebob-ku. Matanya bengkak dan hidungnya ingusan.

Aku sudah menghiburnya, membuat lelucon, sedetik tertawa tapi kemudian si rambut merah itu kembali meraung-raung dan kembali mengacak-acak ranjangku.

Mestinya aku marahi dia, tapi kubiarkan kali ini karna dia sedang patah hati, dan aku meninggalkannya di kamarku, bicara padanya bahwa aku akan membelikannya satu pack es krim kesukaanya.

Setelah meninggalkannya di kamarku sendirian, aku pergi ke minimarket memilih jenis minuman soda, jauh dari Selena atau hatinya yang patah akibat Ray -pacarnya- yang memutuskannya tadi pagi dan aku belum mengetahui alasannya.

Aku dan Selena sudah berteman di semester pertama kuliah kami di kampus Bristone yang ada di 5th St. Drivestire dan kami sekarang tinggal di gedung apartement yang sama, hanya saja dia di lantai 14 sementara aku lantai 21.

Ngomong-ngomong, itu cerita yang panjang untuk kami agar bisa menjadi teman baik mengingat Selena adalah perempuan ter-ngeboss di dunia.

Dan Hallo, Namaku adalah Emma Stewart, aku bekerja di sebuah mall bagian kantor setelah lulus kuliah, sementara Selena si cantik berambut merah mendapatkan jabatan lebih tinggi sebagai manager, dengan kata lain dia bosku, terkadang rasanya aneh sekali punya teman sementara dia bos dipekerjaan kita, benar?

Tapi sekarang si bos itu sedang meraung-raung, mengeluarkan ingus dan air mata, dan aku tidak memungkiri, bahkan dia seksi ketika seperti itu.

Beberapa saat kemudian, setelah aku selesai memilih soda, aku mendorong troli menuji kasir, yang untungnya tidak mengantre, "Hallo." Ucap si kasir ramah.

"Eh, hai." Aku tersenyum canggung karna terlepas dari lamunanku. Menurunkan belanjaanku ke meja di depan kasir, dia membantu.

"Punya kartu anggota?" Tanya si kasir.

"Ehmm.. tidak, tapi aku berharap aku punya."

Pembayaran berjalan dengan cepat, jadi beberapa saat kemudian aku sudah keluar, membawa totebag besar dan tersaruk-saruk, isinya persediaan untuk satu minggu, ini akan menyenangkan kalau naik taksi tapi apartementku terlalu dekat untuk naik taksi jadi aku terpaksa berjalan kaki.

Ngomong-ngomong, hari ini aku tidak bekerja karna sedang akhir pekan, Selena juga, tapi sebenarnya dia harus bekerja di toko bunga kecil-kecilannya yang ada di seberang jalan apartement dekat dengan coffè shop.

Tapi dia tidak dan kalian tahu kenapa, kan? Jadi hanya si anak kuliahan bernama Jack Mason dan Kylie Frank yang menjaga toko bunganya.

Saat memasuki pintu putar di apartementku, aku menabrak seseorang sampai barang di totebag-ku jatuh. Sial, benar-benar ceroboh orang-orang di apartement ini.

Dengan jengkel aku berjongkok mengambil barang-barangku. Seseorang membantuku memungut sereal dan susu kotak satu litterku. Aku melihatnya, dia seorang pria kuliahan, ketika aku membuka totebag, totebag tolol itu robek padahal penjual totebag ini bilang mampu menanggung beban 200kg. Sekarang dia sudah berakhir hanya karena senggolan kecil.

"Persetan dengan," gumamku.

"Maafkan aku Miss, biarkan aku membawanya." Ucap si cowok kampus itu.

"Memang kau harus. Lain kali jangan ceroboh. Sudah besar tapi ceroboh." Omelku.

"Well, sorry."

Kemudian sambil berjalan menuju lift, dia membawa kotak sereal, susu, snack kentang besar, dan 2 pak eskrim kesukaan Selena. Dan aku membawa sarden, pasta spagethi, beberapa makanan instan seperti nugget atau sosis. Meskipun lebih sedikit yang kubawa, ini berat dan lebih merepotkan daripada memakai totebag.

Kami berhenti didepan lift, dan dia menekan tombol pemanggil lift.

"Tinggal disini juga, Miss?" Tanyanya.

"Seperti yang kau lihat." Aku mengetuk-ngetuk kaki sementara menunggu.

"Aku juga, apartemenku di lantai 24." Dia melirikku, tapi aku menghiraukannya, dia hanya bocah, aku cukup kenal anak-anak nakal seperti dia di kampusku dulu.

Aku menarik barang-barang ditanganku lebih ke atas agar tidak merosot, "Oh, pantas saja. Kau sama seperti kebanyakan orang disini," aku berkata, "Ceroboh."

Dia tersenyum atau tertawa atau juga malu, karna aku tidak mau melihatnya, bukan sok arogan, tapi aku benci orang-orang ceroboh dan merugikan orang.

Akhirnya lift terbuka.

Kami masuk sementara 2 orang perempuan keluar tergesa-gesa dan hampir menabrakku lagi. Ada apa sih dengan orang-orang yang terburu-buru?

"Lantai berapa?"

"21, please." Ucapku kemudian cowok itu menekan angka 21.

"Kenapa belanja sendirian? Padahal kau membawa banyak barang." Ucapnya.

Aku memutar bola mata, "Kalau aku tahu akan ada yang menabrakku tentu saja aku akan membawa teman untuk jaga-jaga."

"Eh, tidak. Maksudku untuk berjaga-jaga." Dia tersenyum santai sekali, seolah kami teman lama.

"Kau keberatan, nak? Kau boleh tinggalkan itu di lantai dan aku dengan senang hati menyeretnya ke apartementku." Aku mengangkat alis, berwajah santai tapi serius lebih daripada dia.

Dia memutuskan untuk diam -mungkin- jadi dia hanya menatap lift dengan pandangan menilai, tapi aku tahu dia hanya mencoba menyibukkan diri.

Setelah keberatan dengan barang-barang, kami tiba di lantai 21, aku berjalan cepat ke pintu dan menggesek kartu dengan membawa barang-barang satu tangan. Mendorong pintunya lalu masuk.

"Sel!" Teriakku lalu menyimpan belanjaan di atas counter di dapur.

Menuju tangga ke kamarku memastikan dia baik-baik saja, dan aku hampir menjerit ketika melihat dia duduk di balkon dengan kaki terjulur ke bawah, sedang menangis sambil menyanyikan lagu Begin Again dari Taylor Swift dengan suara sengau.

Aku melangkah hati-hati, temanku yang konyol sekarang mau bunuh diri, "Selena." panggilku pelan sambil mendekat.

Dia berbalik ketika melihatku berjalan melewati ranjang mendekatinya, dia tersenyum sambil menangis, "Emma, kau sudah pulang?"

StyleWhere stories live. Discover now