10. Sindrom Pra-Nikah

Mulai dari awal
                                    

Bu Kiran hanya bisa mengangguk speechless.

***

Tirtan memandang heran pada Lana yang masih memaksanya berjalan secepat mungkin sambil menggamit lengannya. "Buru-buru?"

"Enggak." Jawab Lana singkat. Ia segera meraih cepat kunci mobil ditangan Tirtan dan menekan tombol unlock. Setelah mobil berbunyi dan berkedip sekali, Lana segera membukakan pintu mobil untuk Tirtan mendorongnya masuk kedalam kursi kemudi.

"Trus kenapa kita tadi perginya terburu-buru sekali?" Tirtan masih bertanya bingung melihat Lana yang kini sudah masuk kedalam pintu penumpang dan memasang seatbelt.

"Aku capek nyoba-nyobain baju. Lagian ada juga yang ingin kubicarakan denganmu." Lana menepuk lengan Tirtan. "Ayo buruan." Kemudian Lana memegang perutnya sendiri. "Kita makan dulu yuk? Aku laper."

Tirtan hanya menggeleng-geleng melihat tingkah Lana. "Ayo."

***

"Mau ngomong apa?" Tanya Tirtan setalah duduk dan memesan makanan mereka di sebuah restoran.

Lana memandang ragu pada Tirtan. "Tentang pernikahan ini."

"Kenapa?" Tirtan mengangkat alisnya. Dipikirannya segala persiapan pernikahan mereka sudah nyaris beres, jadi ada masalah apalagi yang mesti dibicarakan?

"Kamu lupa? Kita kan hanya pura-pura." Suara Lana berhasil membuatnya terpaku. Sh*t! Tirtan lupa hal itu.

Tirtan berbicara dengan hati-hati. Tak mau menghancurkan rencana pernikahan mereka. "Bagaimana kalau kita jalani saja, hun? Aku tak keberatan."

Mata Lana melotot sebal, bibirnya mencebik tak suka. "Aku yang keberatan! Kamu kan playboy." Tandasnya langsung tanpa tedeng aling-aling.

"Aku bukan playboy. Lagipula aku suka sama kamu. Kita bisa mencobanya kan?" Tirtan masih berusaha berhati-hati. Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk bersabar menghadapi Lana.

Lana duduk bersandar sambil menyedekapkan kedua tangannya di depan dada. "Sebenarnya aku mau mencobanya. Tapi selama setahun saja."

"Hah? Maksudmu kita nikahnya hanya semacam kontrak, begitu?" Tirtan tak salah dengar kan? Lana hanya menganggukkan kepalanya. "Kamu pikir kita lagi main film? Tidak. Tidak ada nikah kontrak."

"Tapi cuma itu satu-satunya jalan supaya kita bisa menjalani ini semua." Ketenangan Lana mulai terhapuskan mendengar ucapan Tirtan barusan.

"Seburuk itukah menikah denganku? Aku tak keberatan menjalaninya, Lana. Tapi sepertinya kamu yang berpikiran pesimis semenjak awal." Cibir Tirtan dengan sinis. Dapat dirasakan amarahnya yang mulai terbit.

Lana menelan ludah. "Aku hanya mengantisipasi."

"Mengantisipasi apa?"

"Kegagalan pernikahan ini nanti? Aku tak tahu. Aku hanya mengantisipasi." Kini Lana mulai tak tenang.

"Terkadang kamu bisa sangat absurd." Cetus Tirtan langsung.

Lana yang mendengar itu kini mulai sedikit tersinggung. "Absurd? Justru sekarang kamu yang absurd! Aku memikirkan segalanya dengan memakai logika!" Dirinya susah payah memikirkan semua ini dan penilaian Tirtan hanya absurd? Tak bisa dimaafkan!

"Pernikahan bukan hanya berlandaskan logika, Lana. Kamu pasti tahu ujung-ujung pernikahan logika akan berujung penyesalan dan parahnya akan ada perceraian."

"Aku tahu. Makanya aku kasih waktu satu tahun untuk kita dan setelah itu kita cerai." Tandas Lana dengan emosi.

"Lana! Kamu sudah gila?!" Tirtan menggebrak meja mereka. Untung mereka ada di private area sehingga tak ada orang yang mendengarkan mereka.

It's a Life Disaster!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang