"Tidak ada alasan, Tirtan. Kalian berdua tetap harus menikah dalam waktu dekat." Tandas ayah Tirtan.

"Tapi Ayah, apa jadinya bila kami ternyata tidak saling cocok?" Tirtan mengumpulkan pikirannya yang mulai kalut.

"Masalah cocok atau tidak cocok itu hanyalah alasan yang klise!" Pak Bima mulai meninggikan suaranya, "tidak ada yang tahu kalau kalian belum mencobanya!" Kali ini wajah Pak Bima tampak murka. "Atau kalian memang tidak pernah berusaha untuk saling cocok?!" Tuduhnya.

"Kami sudah berusaha, Ayah." Tirtan tampak sudah benar-benar kalut. "kami hanya butuh waktu tanpa campur tangan Ayah." balas Tirtan sedikit menuduh.

"Dari yang kami lihat tadi, sepertinya masalah cocok tidak cocok sudah tidak dipermasalahkan lagi. Bagaimana bisa kalian bisa seperti itu kalau kalian tidak cocok!?" Ucapan Pak Bima semakin menggelegar. "Jadi ini bentuk pelarianmu Tirtan? Tidak ingin bertanggung jawab terhadap Alana?" Pak Bima berkata dengan nada yang tak kalah menuduhnya dari Tirtan.

Tirtan tak dapat berkata-kata mendengar tuduhan ayahnya. Terdengar isakan yang berasal dari Bu Kiran, dan gerakan gelisah Lana yang duduk disampingnya. "Lihat apa yang kau lakukan, Tirtan?" Ayahnya semakin gencar.

Mengambil langkah berani, Lana beranjak dari tempat duduknya kemudian duduk disebelah kiri Mamanya. Menggenggam tangan Bu Kiran yang bersandar dibahu suaminya, Lana berkata, "Ma, aku tidak mengalami kekurangan atau kerugian apapun. Tirtan tidak harus bertanggungjawab hanya karena hal ini." Ujarnya dengan suara yang bagaikan bisikan. Berusaha mencapai kedalaman hati orangtuanya.

Bu Kiran yang terisak kemudian menatap Lana, "Mama tidak pernah menyangka, Lana. Mama pikir selama ini kamu sudah mengerti dengan baik apa yang mama ajarkan padamu segala hal tentang moral dan kehormatan seorang wanita." Ucapnya dengan nada tercekat.

"Ma, aku sudah bukan anak kecil lagi." Lana berkata dengan suara yang seakan ingin menangis dan mata yang berkaca.

"Mama tahu, kamu bukan anak kecil lagi. Itu sebabnya kamu harus lebih bertanggung jawab atas hidupmu bukan?" Bu Kiran kembali terisak di bahu suaminya. Hati Lana nelangsa melihat keadaan ibunya yang sepertinya sangat terguncang.

Papanya menatap langsung kearah mata Lana. "Kalian berdua harus menikah." Menghela nafas seakan menyabarkan diri, pak Raihan kembali melanjutkan kalimatnya. "Benar katamu, kamu bukan anak kecil lagi. Sudah saatnya kamu berhenti bertindak sebagai anak kecil juga dan hadapi kenyataannya. Kamu harus menikah." Ucap Papanya dengan penekanan nada diakhir kalimatnya.

Lana menelan ludah, menatap Papanya, "Tapi, Pa, sungguh pernikahan ini tak perlu dilakukan hanya karena masalah ini kan?" Lana menolak.

"Apa kamu tidak mendengar Lana?! Tidakkah kau melihat mamamu?! Apa yang telah kami ajarkan selama ini ternyata tidak kamu terapkan dengan baik!" Pak Raihan berdiri dari duduknya. "Papa dan Mama kecewa padamu! Bertindak tanpa berpikir dan tidak mengindahkan kehormatanmu!" Telunjuk Pak Raihan mengarah ke wajah Lana, mengintimidasi.

Lana shock, pertama kali dalam hidupnya dibentak oleh ayahnya. Selama ini orangtuanya hanya memaafkan, memberikan nasehat dan penghiburan saat ia melakukan kesalahan, orangtuanya tidak pernah meninggikan nada suara bahkan mengucapkan kekecewaan mereka secara gamblang di depan wajahnya seperti saat ini. Demi Tuhanku disurga... Mungkin ini akhir ceritaku sebagai seorang anak yang disayangi...

Lana menunduk, merasa kalah. Tanpa terasa airmatanya yang sedari tadi ditahannya akhirnya jatuh juga.

"Tidak ada tawar menawar, Lana." Ucap Papanya dengan nada yang kembali datar. Tampak berusaha keras mengendalikan diri. "Lakukan pernikahan ini atau kami akan semakin kecewa terhadapmu." Tandas papanya, tanpa ampun.

It's a Life Disaster!Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ