Miles Away From Seeing You

11.8K 794 49
                                    

"Haruskah ku pergi tinggalkan dunia agar aku dapat berjumpa denganmu?" -Kisah Cintaku (Chrisye/Peterpan)

Playlist: Talking to The Moon- Bruno Mars

Yoga

"Operasinya berhasil. Tapi mereka masih harus masuk ICU sekalipun keadaannya udah cukup stabil. Mereka lucu. Kulitnya lembut banget waktu gue pegang tangannya," aku pun tersenyum, "Oh ngomong-ngomong gue denger kemarin anak kedua Kim Tan udah lahir. Katanya cewek. Gue lupa namanya, tapi nanti gue cari lagi. Dia juga lagi main drama baru. Hampir setiap hari gue liat bibi di rumah nonton itu pas sore."

Aku mulai mendongak, melihat langit biru yang teduh sore ini.

"Besok hari jadi kita ke enam. Lo mau gue bawain apa?" aku menatap batu nisan di depanku.

Angin berhembus lembut, seolah Icha menjawab pertanyaanku. Setiap kali selesai melakukan operasi, aku akan datang kemari untuk menceritakan semuanya pada Icha. Setidaknya hal ini bisa membuatku sedikit melepas rindu. Aku tahu aku terdengar seperti orang gila yang hampir setiap hari datang ke kuburan dan ngobrol sendiri. Bahkan tukang bersih-bersih kuburan jadi sering menemaniku agar aku tidak terlihat terlalu gila.

Tapi aku sama sekali tidak peduli. Lagipula, mana ada orang gila yang merasa dirinya gila?

Disini, aku bisa menghabiskan waktuku berjam-jam. Selain bercerita, terkadang aku ikut tiduran di samping tempat Icha terbaring saat ini, memandang langit dan awan-awan putih yang berjalan lambat terbawa angin. Aku juga selalu mengganti buket bunga yang layu dengan yang segar agar rumah Icha tetap terlihat cantik.

Drrt.. drrtt..

Merasakan ponsel yang bergetar, aku pun merogohnya dari saku.

Bunda.

Aku menghembuskan nafas kasar saat membaca siapa yang menelepon. Aku tahu apa maksud Bunda meneleponku saat ini.

"Hey, gue pulang dulu. Besok gue kesini lagi, oke? Bye Cha," aku mulai bangkit dan meninggalkan area pemakaman.

***

Ketika sudah sampai di sebuah restoran, aku mulai mengedarkan pandanganku untuk mencari seseorang dengan dress merah dan rambut panjang. Saat mataku menangkap sosok dengan ciri-ciri tersebut, aku pun mulai melangkah menuju sebuah meja dimana seorang wanita sedang duduk sendirian.

Tanpa berkata apapun, aku langsung duduk di kursi depan wanita tersebut. Matanya yang semula mengarah ke jendela pun perlahan mulai tertuju padaku. Bibirnya yang dipoles lipstik merah mulai merekah seperti buah delima yang sudah kelewat matang.

"Yoga, kan?" tanyanya memastikan.

Aku hanya memberikannya senyuman tipis sebagai jawaban.

"Tanaya," wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku meneliti jari-jari lentiknya dan kuku yang diwarnai senada dengan warna baju juga lipstiknya. Astaga. Ini cewek pendukung PDIP atau apa? Bahkan setelah aku lihat tas yang ia bawa pun berwarna merah, dan oh lihat betapa tebalnya bulu mata palsu yang ia gunakan. Mungkin bulu mata itu bisa membantunya untuk menyaring debu dan polusi se-Jakarta.

"Lo tau siapa nama gue," kataku dan tidak membalas jabatan tangannya.

Wanita itu pun menarik kembali tangannya dan mencoba untuk tetap tersenyum.

"Abis dari rumah sakit, ya?" tanyanya.

"Hm," jawabku dingin dengan pandangan ke arah jendela.

***

Before Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang