4 | A S A

118 4 4
                                    

" That's what matured people do, confronting reality rather than running from it." - Alys Zril Perez, Dating Alys Perez

••••

-MEGAN-

"Oke, tapi gue gamau punya karyawan ngga berpendidikan,"ujarnya.

Gadis di sampingku menggumam tidak jelas, aku yakin itu adalah sumpah serapah yang sudah dia tahan sejak tadi.

"Pembagiannya kita omongin nanti lagi. Lo tinggal dimana?"

"Rumah pohon,"Ia menjawab datar.

Astaga.

"Jangan becanda, bocah."Ia menarik beberapa helai rambut temanku itu. "Sakit ish, serius. Kan tadi gue udah bilang gue..."

"Iya, iya. Gue ngerti. Yaudah. Lo disini dari jam 7 - 9 malem, setiap hari. Inget itu."ia mengacungkan jari telunjuknya.

"Iya, oke. Thanks ya, gue pulang dulu."

Dengan bahagianya dia bangkit dan ngeluyur gitu aja membawa koper beserta gitarnya. Meninggalkan aku yang masih terbengong bengong disini.

Tiba-tiba ia berbalik. Kenapa? ada yang ketinggalan?

"Meme...ayo!"serunya.

Oh, iya.

Aku menepuk keningku sebelum berlari menyusulnya.

"Hei, nama lo! Siapa nama lo!"

"Bulan! Gue, Bulan. Lo?"gadis di depanku ini menjawab lancar, balik berteriak ke arah cafe.

"Danu. Oke Bulan, see ya."Ia lalu berlalu ke dalam cafe. Bulan, tanpa berbalik mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi.

Rambut hitamnya yang tergerai berterbangan ditiup angin malam. "Bener kan Me, gue bakalan baik-baik aja."sebuah senyum kosong lagi-lagi menghiasi wajahnya.

Ya, ia senang. Ia senang meski jauh disana aku yakin ia merasa hampa.

"Eh, kok lo bilang nama lo Bulan?"

"Lah, emang iya kan. Me, mulai sekarang panggil gue Bulan ya okay Meme ku sayang?"ia mencubit kedua pipiku.

"Hish, iya... oke, Bulan."

Rasanya aneh mengucap nama yang tak seharusnya. Asing di mulutku. Namun untuknya, asal ia bahagia, asal ia tak putus harapan. Segalanya akan aku lakukan.

"Sekarang kemana nih?"tanyaku. Kami berhenti di halte bus dekat cafe.

Bulan tersenyum, mata hitamnya memantulkan cahaya bulan di atas sana hingga kedua maniknya terasa bercahaya. "Pulang...."

•••

"Lo mau sekolah dimana, Lan?"aku menyesap teh hangat yang ia tuangkan dalam cangkir logam.

Disini senyap, hanya ada sebuah rumah kosong --yang saat ini terlihat ada penghuninya--, dengan rumah pohon ini di halamannya.

"Ngga tau."

Dari ekor mataku ku lihat Bulan mengangkat bahu. Kami duduk di depan pintu dengan kaki menjuntai ke bawah.

Cuek, sangat dia sekali.

"Lo tau kan lo masih punya wali sah di sini, kali aja lo bisa...."

"Ssstttt...
Gue sekolah, ngga sekolah. Gue tetep bisa dapet ilmu, iya gaaa?"matanya mengedip nakal.

TER-BACATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang