2

7K 229 0
                                    

"Mol, bangun!" Nadine mulai berbisik di telingaku berkali-kali, dengan malas aku hanya mengigau pelan dan membalikkan mukaku dari bisikannya, nampaknya mataku masih terlalu berat

"Mol, dia ngeliat kearah lo dari tadi" Ucapan Nadine membuatku mengangkat kepalaku dan mengarahkan kepadanya, dengan mata mengantuk dan rambut yang berantakan aku memandang Nadine seakan bertanya sebenarnya siapa yang dia maksud. Hingga baru kulihat mulutnya terbuka dengan mukanya yang cemas, sebuah suara lain yang berat sudah mendahului

"Selesai mata pelajaran ini temui saya di kantor, Ananda Moli Tatiana" Suaranya yang berat dan tinggi membuat seisi kelas menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan. Ada yang memandang iba, ada juga yang memandang... iri? Apa aku tidak salah? Diapun akhirnya berbalik dan mulai melanjutkan menjelaskan tentang teori-teori yang apalah itu aku tdak mengerti. Setelah mataku sudah bisa digunakan dengan baik, aku baru menyadari bahwa dia –yang membentakku sehingga semua mata tertuju kepadaku— adalah dosen pengganti. Apa aku tidak salah lihat? Dari postur tubuh dia terlihat tinggi, dengan dada yang bidang, punggungnya yang gagah bahkan hingga pakaiannya membentuk betapa bidang badan yang dilapis oleh kemeja biru donker itu. Dan perawakannya juga lumayan, cocok juga untuk menjadi model. Dengan wajah yang tirus, rambut yang sedikit gondrong hingga menyentuh kerah baju, juga... Eh, kenapa tiba-tiba dia melihat kearahku?

Fokus Moli fokus! Pura-puralah mencatat!

Akhirnya jam menunjukkan pukul sembilan yang artinya aku sudah bisa keluar dari ruangan yang mencekam ini. Sebenarnya tidak mencekam, hanya saja dia-si-dosen-pengganti-itu terus memperhatikanku dari ekor matanya yang tajam, dilihat seperti itu mau tak mau aku harus mencatat mata pelajarannya dengan terpaksa. Aku segera bergegas merapihkan buku-ku dan dengan langkah senang juga lega meninggalkan kelas dengan mata pelajaran terkutuk itu. Aku harus melanjutkan kegiatanku yang tadi sempat tertunda di kelas. Tapi baru saja melangkah menjauhi pintu kelas lagi-lagi teriakan Nadine memberhentikan langkahku, dengan sebal aku berbalik dan dia hanya menatapku dengan tangannya yang dilipat, aku semakin tidak mengerti hingga akhirnya aku bersuara

"Apa lagi?" Tanyaku cuek. Yah, Nadine memang satu-satunya temanku yang tahan menghadapi sifafku yang cuek dan tukang tidur.

"Jangan bilang sekarang lo juga jadi tukang pelupa" Jawaban Nadine awalnya memang membuatku bingung, memangnya aku melupakan sesuatu? Hingga hening beberapa menit dan tatapan Nadine yang seakan ingin meremas mukaku, aku baru teringat akan ucapan si-dosen-pengganti-itu

"Aduh, emang harus banget, ya?" Ucapku memelas sedangkan Nadine hanya memutar matanya sebagai jawaban

"Okay fine. Gue samperin dia ke kantor" dengan malas aku segera berbalik arah sedangkan Nadine kulihat dari ekor mataku sedang tersenyum lega

Menyebalkan!

Aku berjalan menyusuri koridor kampus, dan akhirnya menemuka satu ruangan yang dari tadi telah kucari. Dengan keberanian dan tenaga yang tersisa, akhirnya aku mengetuk pintu tersebut. Sekali dua kali tapi mengapa tidak ada jawaban? Aku terus mengetuk kini dengan ketukan yang lebih keras? Kenapa tidak ada jawaban juga ya?

"Nyusahin aja sih ini orang, tadi disuruh kesini" Ucapku kesal sambil menendang pintu yang tak juga ada yang membuka, tau begitu lebih baik aku tidur di rumah saja

"Minggir" Tiba-tiba sebuah suara berat dan tinggi itu datang dari arah belakang dan mengagetkanku. Dan dengan sigap tubuhku yang kecil langsung beranjak kesamping, membiarkan si-dosen-pengganti-itu untuk masuk mendahului, dan lagi-lagi aku merasa suasana disekitarku mulai mencekam. Bagaimana kalau dosen-pengganti-itu tadi mendengar kata-katanya? Dan melihat Moli menendang pintunya?

Sepertinya aku akan di d.o

"Masuk" ucapnya sambil beranjak masuk ke ruangannya, aku pun mengikutinya masuk namun tiba-tiba tubuhnya berbalik hingga membuatku terkejut dan berhenti

"Omong-omong, ini orang yang kamu maksud adalah dosen kamu selama Pak Sasono berhalangan hadir. Jadi, nilaimu tergantung kepadaku selama aku masih menjadi dosen" Ucapannya sangat tajam, bahkan terdegar penekanan di setiap kata-katanya. Dengan susah payah dan oksigen yang seakan menjauh dari ruangan ini, aku mulai mengangguk dan tanpa sadar aku malah menahan nafasku. Ruangan ini penuh dengan intimidasi, tidak tidak! Tapi dosen itu yang sungguh mengintimidasiku, aku harus cepat keluar dari ruangan ini.

Akupun duduk di depan meja setelah ia menyuruhku, dan kulihat ia mulai membuka map berwarna kuning dan menatapku dengan pandangan... meremehkan? Apa aku tidak salah lihat? Dia tersenyum samar dan menutup map tersebut, kini fokusnya terarah kepadaku, menatapku dan lagi-lagi aku seakan terintimidasi.

"Ananda Moli Tatiana, kuliah tingkat akhir, nilai IPK selalu memuaskan, mendapat beasiswa, tapi terkenal dengan julukan si tukang tidur" Ucapnya tiba-tiba. Mendengar itu aku bingung apa harus senang, apa aku harus kesal? Yah untuk suasana yang seperti ini, sepertinya lebih baik aku tidak banyak komentar.

"Kenapa kamu tadi tidur di pelajaran saya?" Tanyanya dengan tajam

"Saya ngantuk, Pak" dan kalimat sederhana itu keluar dengan lancar dari mulutku seakan aku tidak sedang habis melakukan kesalahan. Mati saja kau Moli

"Sekarang kamu kerjakan ini semua" dia-si-dosen-pengganti-itu yang tak sengaja kulihat di mejanya bernama Alex Narendra Utama, menyerahkan setumpukan kertas yang menjulang tinggi, dan ia taruh di hadapanku. Aku hanya memandangnya dengan bingung dan meminta penjelasan

"Gak sulit. Kamu hanya perlu membaca kertas-kertas itu, dan memisahkan kertas mana yang penulisannya cacat dan mana yang tidak" Ucapnya enteng. Apa dia tidak salah? Aku membaca kertas sebanyak itu? Melihatnya saja tiba-tiba kepalaku sudah pening

"Kamu keberatan? Ya kalai begitu jangan mengharapkan nilai—"

"Saya tidak keberatan, Pak" Ucapku memotong dan tentu saja terpaksa. Beginilah dosen yang menyebalkan, yang selalu mengancam soal nilai. Aku tidak akan membiarkan nilaiku turun walaupun harus berhadapan dengan si-dosen-pengganti-itu, karena jika nilaiku turun satu mata pelajaran saja beasiswaku bisa dicabut, dan akan dengan apa aku membayar biaya kuliah? Untuk hidup sehari-hari saja aku sudah sulit. Kalau saja bisnis orang tuaku masih semaju dulu, kalau saja bisnis ayahku tidak bangkrut karena ditipu temannya, kalau saja saat itu aku cukup mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi aku pasti takkan membiarkan si penipu itu untuk lolos, kalau saja ayah dan ibuku tidak memutuskan untuk pergi hingga berujung adanya musibah yang membuat mereka tidak ada lagi di dunia ini, pasti tidak akan sesulit ini, tidak akan sesepi ini.

"Kenapa diam saja? Kamu bisa mengerjakannya disana" Tunjuk Alex. Ternyata di pojok ruangan sana terdapat satu meja kecil dan kursi untuk satu orang. Dengan susah payah, aku membawa tumpukan kertas ini dan mulai beranjak ke meja kecil tersebut. Semoga saja kantukku bisa diajak kompromi untuk hari ini, doaku.

Sejam dua jam berlalu rasanya masih biasa saja, aku masih bisa memeriksa tumpukan kertas itu dengan baik. Tapi setelah dua jam lebih berlalu rasanya mataku sudah tidak kuat untuk membaca tumpukan kertas itu lagi. Aku melihat jam yang bertengger manis di sebelah tangan kiriku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas, dan kulihat kertas-kertas itu masih bertumpuk tinggi seakan mau menerkam tubuhku yang kecil. Astaga, sepertinya aku benar-benar sudah mengantuk. Kulihat Alex masih saja berkutat dengan kertas-kertas yang ada di depannya, dia nampak begitu serius. Kalau dilihat seperti ini, wajahnya kenapa membawa hawa sejuk, ya? Berbeda jika dia sedang di kelas, atau berbicara denganku, seperti menawarkan hawa permusuhan. Akupun melanjutkan membaca satu kertas dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, hingga tiba-tiba semuanya terasa mengabur dan aku tidak ingat apa-apa lagi, yang kutau mataku benar-benar tidak bisa diajak berkompromi.





My Dosen My EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang