Kembali

3.2K 249 2
                                    

Manik mata coklat keemasan itu bergerak cepat seperti mencari sesuatu yang hilang, bibirnya terbuka tapi tak ada satupun suara yang keluar, dadanya naik turun dengan cepat. Ludwig Lee menatap nanar adiknya yang sekarang bertingkah seperti orang sekarat.

"Argh!" Teriakan Lena bergema dan wanita itu kembali pingsan.

"Sudah enam kali ia begini," lirih Ludwig. "Aku benar-benar tak tega."

Pace menghela nafas lelah lalu berjalan pelan mendekati Ludwig dan Lena, lelaki itu berdiri tepat di samping putranya.
"Aku juga, Ludwig. Tapi kita bisa apa ? Ini yang terbaik untuknya."
"Apakah menurut ayah menghilangkan ingatannya tentang Justin dan segala hal tentang Rjukan merupakan hal yang baik ?"

"Aku---"

Ludwig beralih menatap ayahnya, "Ini tidak benar, ayah. Kedua vampire itu mengambil keputusan yang fatal."

Pace mengangguk, ia tak dapat membantah perkataan putranya karena semua itu benar. Rowena dan Christian tak seharusnya menghilangkan ingatan Lena yang paling berharga dalam hidupnya. Mereka tak seharusnya menghilangkan ingatan Lena tentang Justin.

"Tapi akan lebih tidak benar lagi jika Lena menyiksa dirinya hanya karena kematian Justin, Ludwig." Sahut Pace tenang.

Ludwig terdiam, lelaki itu mendesah pelan. Tangannya mengelus lembut jemari Lena yang tergeletak tak berdaya.

"Ludwig," panggil Pace, lembut. "Aku harap kita semua bisa merahasiakan ini darinya, beri ia semangat untuk hidup lagi. Ia pantas hidup."

Ludwig mengangguk ragu. Tak lama, lelaki itu merasakan gerakan lemah dari jemari Lena. Lelaki itu terkesiap, punggungnya menegang. Matanya beralih menatap Pace yang berdiri disampingnya lalu kembali ke arah adiknya itu.

"A-----ya----h," Ucap Lena lirih. "Argh! Kepalaku!"

Lena merintih kesakitan, Ludwig panik dan Pace segera berlari keluar kamar untuk mengambil sebuah gelas.

"Minum, Lena!" Perintah Pace seraya membantu putrinya yang terus berteriak itu untuk minum. Lena meminum beberapa tegak
lalu ia kembali terjatuh ke ranjangnya. Pace meletakkan gelas minuman Lena yang berwarna merah ke atas nakas.

"Darah ?" Tanya Ludwig tak percaya. Pace mengangguk mengiyakan, "Darah terakhir yang berisi ramuan sebelum Lena melupakan jati dirinya yang sebenarnya."

"Apa ?" Teriak lelaki itu, "Bagaimana jika tiba-tiba saja jiwa vampirenya kembali muncul ?"

Pace tak menyahut, manik matanya menatap Lena yang kembali bergerak. Kelopak mata wanita itu bergerak perlahan menampilkan mata coklat yang menawan. Ludwig menatap adiknya itu tak percaya, pandangannya beralih ke ayahnya.

"Coklat ?"

Pace mengindiggkan bahu, "Mungkin ramuannya berhasil." Bisik lelaki itu.

"Ludwig," Panggil wanita itu lemah. Pandangannya beralih kesamping lelaki itu, sudut-sudut bibir Lena terangkat membentuk senyuman yang sangat menawan. "Ayah."

"Beristirahatlah, Lena."

Lena tak menggubris, tangannya memijat-mijat kepalanya pelan. "Kepalaku sakit."

"Apakah sangat sakit ?"

Wanita itu memandang Pace, "Sudah mendingan dari yang sebelumnya."

"Syukurlah." Ucap Pace. Lena memandang keduanya bingung, lalu matanya menyusuri sekeliling ruangan. Kamar dengan dominasi warna ungu soft dan putih, di sebelah kiri terdapat jendela kaca yang sangat besar dan langsung mengarah ke luar ruangan.

"Ini bukan kamarku di New York," gumam wanita itu "Dan ini bukan kamarku di apartemen Ludwig. Ini dimana ?"

Ludwig menatap Pace, wanita itu semakin bingung dengan tingkah kedua orang didepannya yang mendadak diam membisu.
"Ada apa ayah, Ludwig ?"

Kakaknya itu menatapnya dalam, bibirnya tersenyum tetapi Lena sangat yakin itu bukanlah senyuman tulus.
"Oh, Ayolah. Kenapa kalian diam saja ?"

Pace menghela nafas, "Kau kecelakaan."

Wanita itu tersentak, mulutnya yang terbuka lebar ia tutupi dengan tangan. Ia menggeleng tak percaya. "Apa ?"

Ludwig mengangguk pelan, matanya menyorotkan sebuah kesedihan. "Kau tertidur panjang selama musim dingin."

Lagi-lagi Lena terkejut, "Selama itu?"

Kali ini Pace yang mengangguk mengiyakan.

"Pesawatmu terjatuh saat kau terbang ke London."

"London ?"

Ludwig mengangguk, "Kita semua pindah ke London awal musim dingin. Tetapi ayah dan aku pergi lebih dulu dua hari sebelum kau pergi." Luwdig diam, kepalanya terpekur. "Naas, kau kecelakaan dan tak sadarkan diri selama musim dingin."

"Tak masalah, yang penting kau sudah bangun lagi sekarang." Timpal Pace cepat memecah kesenduan yang sempat terjadi.

Ludwig tersenyum kecil dan mengangguk, "Selamat datang kembali, adik kecil!"

Bibir wanita itu mengerucut lalu sedetik kemudian berubah menjadi senyum yang sangat manis menampilkan deretan gigi putihnya. Ia perlahan mengganti posisinya menjadi duduk dengan punggung bersandar pada tepi ranjang. Lena merentangkan tangannya, "Aku tak tahu apa saja yang aku lewatkan. Tapi satu pelukan sepertinya dapat menjawab semuanya."

Ludwig dan Pace saling memandang sebentar sebelum akhirnya memeluk wanita yang terduduk lemah diranjang itu.

"Aku begitu merindukanmu, dear." Ujar Pace saat pelukan mereka terlepas.

Lena tersenyum, "Aku juga ayah."

"Baiklah. Sekarang waktunya istirahat, adik kecil."

Lelaki itu membantu adiknya untuk merebahkan dirnya diranjang. "Tidurlah." Ucap Ludwig pelan lalu mencium kening wanita itu disusul oleh Pace yang juga melakukan hal yang sama.

"Dah Lena." Dan pintu tertutup.

--------

"Aku benar-benar tak tega harus membohonginya."

Ludwig Lee menyesap coffe latte-nya lagi. Pace mendesah pelan, matanya menatap cangkir kopinya.

"Setidaknya ia punya semangat untuk hidup lagi." Sahut Pace.

"Aku tahu, ayah. Tapi kau lihat matanya, ia begitu polos."

Pace bergeming. Lelaki itu menyesap kopinya, menaruhnya kembali di meja makan berwarna coklat muda.

"Apa tak ada kemungkinan ingatannya muncul kembali ?"

"Aku tak tahu, Ludwig. Tapi dari penuturan kedua vampire itu sepertinya tidak ada." Pace menyahut. "Ah iya, aku harus memberitahu Rowena."

Lelaki itu bangkit dan berjalan menjauhi ruang makan. Ludwig termenung, menatap langit biru dan gedung-gedung yang menjulang tinggi dari jendela apartemennya. London, ia tak pernah menyangka harus meninggalkan Paris beserta Emily dan menetap di kota ini.

"Justin," lirih Ludwig. "Kau melanggar janjimu."

Ludwig menyesap lagi caffe latte-nya. Ia pasti sudah gila karena berharap orang yang sudah meninggal itu hidup kembali.

~~~~~~

Xoxo

Lena Lee : When You ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang