Aku mengacak-acak rambut dengan frustasi. Setelah itu aku mencoba untuk menenangkan diri dengan menghela napas sebanyak mungkin. Tak lama ponselku berdering pendek. Kulihat pemberitahuan pesan masuk dilayar ponselku sebelum aku menekan tombol untuk membacanya.

'Lihatlah keluar jendela!'

Kulihat di kotak pengirim hanya terdapat angka-angka nomor yang tertera didalamnya, pertanda nomor itu belum tersimpan di kontak ponselku.

Aku langsung melonjak dari tempat tidur dan membuka tirai jendela. Kulihat seorang pemuda jangkung berdiri tak jauh dari jendela kamarku. Pemuda itu tersenyum sambil membentangkan kedua tangannya. Aku menatapnya dengan mata terpana karena belum pernah melihat pemuda setampan itu. Sejenak aku langsung melompat keluar jendela.

Aku masih menatapnya kagum dengan jantung berdetak kencang. Aku melangkah mendekatinya dan dia juga mendekatiku perlahan. Mata kami bertemu.

"Kau—." Ucapanku menggantung. Aku seperti pernah mengenalnya tapi—siapa dia?

"Karin." Panggilnya membuatku semakin gugup.

Dalam sekejap aku sudah berada dalam pelukannya. Ia membenamkan wajahnya dileherku dan memelukku erat.

"Aku sangat merindukanmu." Isaknya dalam tangisan.

"Kau—siapa?" tanyaku penuh keheranan.

Dentuman keras mengenai dirinya dan dia—lenyap sebelum menjawab pertanyaanku.

Aku melonjak dan ternyata aku masih duduk di jendela. Aku memandangi sekitarku dengan bingung. Kulihat tangaku masih menggenggam buku diary kecilku dan kamarku masih dalam keadaan gelap. Aku—bermimpi?

Oh ya aku ingat, aku duduk meringkuk sambil bersandar. Udara yang menenangkan membuatku ketiduran di jendela dalam posisi duduk. Aku putuskan untuk menutup jendela sekaligus menutup tirai sebelum aku menyalakan lilin. Kulihat Ren sudah terlelap di sofa yang terletak disudut kamar dengan posisi tubuh lurus.

Jam sudah menunjukan pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Waktu yang lebih cepat di banding jam dalam mimpiku. Aku mulai membaringkan diri dan menarik selimut. Tak lama ponselku berdering pendek. Sebuah pesan masuk terpampang di layar ponsel. Kulihat hanya nomor yang tertera di kotak pengirim. Jantungku berdegup kencang. Dengan hati-hati, aku menekan tombol untuk membaca isi pesan.

'Lihatlah keluar jendela!'

Mataku terbelalak membaca pesan itu. Ini—pesan yang ada dalam mimpiku barusan. Apakah aku bermimpi lagi? Aku mencubit pipiku dengan keras dan pipiku terasa sakit. Masih kurang percaya akhirnya aku menampar pipiku hingga merah. Aku meringis kesakitan sambil mengelus-elus pipiku perlahan.

Ponselku kembali berdering. Kulihat nomor yang sama dan pesan yang sama. Aku langsung membuka tirai jendela dan—sosok pemuda sudah berdiri disana.

Aku menyipitkan mata sebelum bergumam "Kenzie?"

Tapi—di mimpiku tadi bukan dia yang datang.

Tanpa pikir panjang aku melompat keluar jendela. Aku langsung berlari kearahnya dan dia tersenyum hangat.

"Kenzie!"

"Apa kabar Karin? Sudah lama kita tidak bertemu yah," sapanya lembut.

Aku sendiri juga tidak percaya bisa bertemu dengannya lagi. Dia—sahabat kecilku. Kami saling berpelukan.

"Aku baik-baik saja. Kenapa kau tidak memberi kabar kalau kau sudah pulang dari luar negeri?"

"Aku suka melihat ekspresimu saat terkejut seperti itu," jawabnya polos.

Loizh II : AreyOnde histórias criam vida. Descubra agora