******

Rae sedang mengepel toilet di ruang direksi. Toilet yang sangat bersih dan besar. Sudah satu minggu Rae bekerja di kantor ini sebagai petugas kebersihan. Rae kira, dia akan membersihkan seluruh ruangan di gedung ini, tetapi ternyata Jamie menyuruhnya membersihkan ruang direksi saja. Ruangan ini hanya ada ruangan CEO, ruang meeting, dan ruang tunggu di sebelah ruang sekretaris pribadi sang CEO. 

Ada tiga orang yang setiap harinya membersihkan lantai khusus ini termasuk Rae. Sebenarnya tugasnya hanya membersihkan ruangan sang CEO, yang kata Jamie setampan Jamie Dornan itu. Akan tetapi kadang dia merasa tidak enak pada temannya yang masih bekerja hingga dia sering membantu pekerjaan temannya, Selly dan Dorothy. Saat ini mereka sedang membersihkan ruang tunggu. 

Kadang Rae heran, kantor ini sudah sangat bersih, untuk apa dibersihkan setiap hari. Hanya memboroskan alat kebersihan saja. Apalagi ruangan CEO yang satu minggu ini kosong. Jamie tetap menyuruhnya untuk membersihkan setiap hari. Jamie bilang padanya, sang CEO muda itu sangat perfeksionis dan rapi. Dia tidak mau ada setitik debu pun di mejanya. 

"Permisi." Seorang wanita hamil yang sangat cantik masuk dan tersenyum ramah pada Rae.

Rae membalas senyumnya. 

"Hati-hati, Ma'am, lantainya masih licin." Rae menghampirinya dan menggandeng tangan wanita itu. Wanita itu tersenyum lagi.

Rae membereskan peralatannya dan menunggu sampai wanita itu selesai di kamar mandi. Dia tidak mau wanita itu terpeleset nantinya. 

"Mari saya bantu, Ma'am." Rae menggandengnya dengan sigap.

"Terima kasih. Maaf aku mengganggu kerjamu," jawabnya.

Rae menggeleng. "Tidak. Saya sudah selesai mengerjakannya." 

Rae menggandeng tangan wanita itu sampai mereka berdua sampai di ruang tunggu. "Apa Anda akan menunggu di sini?"

Wanita itu menggeleng. "Di sana." Tangannya menunjuk pintu coklat besar di tengah ruangan.

"Oh! Maafkan saya, Ma'am."

Ternyata wanita hamil ini istri dari CEO-nya!
Rae tidak menyangka istri CEO-nya ternyata secantik ini. Tetapi tidak mungkin juga seorang CEO mempunyai istri berparas biasa saja seperti dirinya. Jamie saja menolaknya apalagi seorang CEO setampan Jamie Dornan.

"Kenapa kau meminta maaf?" tanya wanita itu heran.

Rae memandangnya dan tersenyum gugup. "Sa...saya...tidak tahu kalau Anda..."

Wanita itu terkikik geli memotong ucapan Rae yang terbata. "Tidak usah meminta maaf, kau tidak melakukan kesalahan apapun padaku."

Rae membungkukkan sedikit badannya.

"Tidak usah meminta maaf begitu, ngg... siapa namamu?"

"Rae. Nama saya Rae, Ma'am."

"Panggil saja aku Abby, jangan Ma'am. Aku jadi merasa tua," ucapnya sambil terkekeh. 

"Jangan, Ma'am. Saya hanya pegawai rendahan di sini. Tidak pantas saya memanggil Anda hanya dengan nama saja."

"Jangan membantahku! Panggil aku Abby!" Wanita cantik itu pura-pura melotot marah. 

Abby tersenyum kecil. "Baik, Ma ... Ab."

Abby tersenyum puas. "Apa kau masih ada pekerjaan?"

Rae menggeleng.

"Bagus kalau begitu temani aku." Abby menyeret tangannya ke ruangan sang CEO. 

"Ta...tapi, Ab ..."

"Jangan membantahku, Rae!"

Rae hanya bisa pasrah saat wanita itu membawanya masuk ke ruangan sang CEO dan mendudukkannya di sofa hitam yang empuk. Dia sebenarnya tidak enak. Dia belum pernah bertemu CEO itu. Tidak ada satu pun foto di ruangan ini. Rae takut kalau CEO itu adalah seorang yang galak mungkin? Apa dia akan dipecat jika bosnya itu tahu dia berani bersantai-santai di saat kerja seperti ini. 

"Tidak usah takut. Tidak akan ada yang memarahimu," ucap Abby seolah tahu apa yang Rae pikirkan.

Rae meringis. Merasa malu karena Abby tahu apa yang dia pikirkan.

Namun, Abby tampaknya wanita yang baik. Dia juga tidak sombong dan galak seperti kebanyakan para wanita kaya. Seandainya wanita itu berasal dari golongan yang biasa saja seperti dirinya, mungkin mereka bisa menjadi teman dekat. 

Rae tidak pernah punya teman selama ini. Tinggal di kota kecil sebagai seorang anak yang tidak mempunyai ayah dari seorang wanita yang tidak pernah menikah bukanlah hal yang menyenangkan. Dia sudah kenyang menjadi bahan hinaan teman-teman atau tetangganya. Hanya Jamie yang dia punya. 

"Rae, kenapa kau melamun? Percayalah, tidak akan ada yang memarahimu," Abby bertanya dengan lembut.

"Tidak, Ab. Aku...hanya..." Rae bingung bagaimana menjelaskannya pada Abby. Dia baru sekali bertemu wanita ini. Dia tidak tahu bagaimana sifat aslinya. Apa dia benar-benar baik atau tidak.

"Rae, ada apa? Apa kau takut padaku?"

Rae menggeleng.

"Kau takut dipecat?"

Rae menggeleng lagi. 

"Aku... aku hanya berpikir, seandainya aku punya teman atau saudara."

Abby tersenyum. "Kita bisa berteman kalau kau mau."

"Eh,oh, tidak, Ab. Aku ..."

"Kenapa? Kau tidak mau berteman denganku?"

"Kenapa kau baik sekali, Ab? Kita bahkan baru sekali bertemu. Biasanya para wanita kaya tidak mau bergaul dengan kami orang miskin," tanya Rae tak menghiraukan pertanyaan Abby. 

"Aku bukan wanita kaya, Rae. Dan aku pernah berada di posisimu."

Mata Rae membulat. Jadi wanita ini pernah menjadi orang miskin sepertinya? Apa dongeng cinderella di dunia ini benar-benar nyata? Seorang perempuan miskin bertemu dengan pangeran tampan apa itu mungkin?

"Rae, dari mana asalmu?"

"Aku dari Donaghadee, Ab."

"North Ireland? Berarti kau bisa membuat Shepherd Pie?" mata Abby berbinar.

Rae menggangguk. "Tentu saja, Ab!"

Mata Abby berbinar. "Kau harus ke rumahku. Buatkan aku!!" Abby melonjak-lonjak kegirangan. 

"Ab, tenanglah, kau sedang hamil."

Abby meringis. Rae tertawa melihatnya. Wanita ini benar-benar menyenangkan. Tampaknya mereka bisa cocok menjadi teman. 

"Sayang, maaf lama menunggu." Suara itu kontan membuat Rae menoleh dan matanya sontak membulat sempurna.

"KAU??!!!"

=====================================================================================================================================================================

Setelah prahara yang menimpa watty, akhirnya saya menulis lagi walau dengan mood amburadul. Jadilah part ini yang mohon maaf ngalor ngidul nggak karuan. 

Terimakasih untuk semua yang sudah mendukung saya.

Big Love and Big Hugs,

Niken

#211215# 01.40PM

Crush Into YouWhere stories live. Discover now