PROLOG

57.5K 5.4K 150
                                    


“Sesuai kesepakatan awal. Siapa yang kalah, harus rela mutusin pacar!” Pemuda itu berkata culas. Seringai licik tercetak jelas di bibir coklatnya. Tubuh proporsionalnya bersandar santai pada pintu bagian luar sebuah mobil sport merah metalik berjenis Lamborgini. Tangan kanannya melingkar manis di pinggang seorang wanita cantik berpakaian seksi.

Tepat di depannya, berdiri seorang pria sebaya, bersisian dengan seorang gadis yang sudah berusaha menahan diri untuk tak memuntahkan protes sejak awal kesepakatan konyol ini dimulai. Malam ini ia merasa menjadi perempuan paling hina. Dijadikan sebagai bahan taruhan dalam balap liar mobil mewah sialan yang dilakukan oleh kekasihnya dengan manusia sok yang baru ia ketahui bernama Iron Hanggara.

Aluminia tak terima dijadikan bahan taruhan. Namun Rafdi—kekasihnya, meyakinkan bahwa malam ini ia akan kembali membawa kemenangan seperti biasa. Tapi sial tiada yang tahu.

Rafdi kalah. Melawan musuh terberatnya sejak SMA.

“Ya, gue sih nggak maksa.” Iron menambahkan. Seringainya semakin lebar. “Pecundang emang nggak bisa dipegang kok omongannya.”

Rafdi sukses terpancing. Ia paling tak suka disebut pecundang, apa lagi di depan teman-temannya yang lain, yang kini berkerumun membentuk lingkaran mengelilingi mereka. “Gue bukan pecudang.” Ia berujar tak terima, mengundang lirikan tajam dari gadis yang berdiri di sebelahnya.

Menarik napas panjang, pemuda itu menatap sang lawan bicara tepat di mata. “Omongan gue bisa dipegang!” Ia lantas membelok tubuhnya menyerong ke kiri, menghadap Lumi yang tampak jelas sedang menahan emosi. “Kayaknya—”

“Elo mau mutusin gue!” potong Lumi cepat. Ia menyipit tajam, rahangnya mengetat dan bibirnya menipis, mencoba menahan segala umpatan kasar yang siap dimuntahkan terhadap semua bedebah yang berkumpul di tempat ini.

“Sori, Sayang,” ucap Rafdi lembut. Netra biru terang itu menyorot sayu, menggambarkan ketidakrelaan harus melepas perempuan yang bahkan tadi pagi baru saja menerima lamarannya. Tapi Rafdi merupakan seorang laki-laki berego tinggi, yang mana harga diri berada di atas segalanya. Dari penerangan lampu jalan yang berdiri beberapa meter dari kerumunan, ia bisa melihat mata Lumi berkilat marah, tapi Rafdi seolah buta. Menjilat ludah bukan sifatnya. “Laki-laki sejati nggak pernah ingkar janji.”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat mulus di pipi Rafdi. Serempak orang-orang yang mengelilingi mereka menahan napas, tak menyangka gadis yang kini berstatus mantan dari Rafdi Zachwilli berani menampar pipi seorang yang digadang-gadang akan menduduki kursi kepemimpinan Zach Hotel & Resort itu. Kecuali Iron, ia justru menyunggingkan senyum cemooh bagi pasangan tolol yang malam ini tengah membuat drama kacangan. Namun melihat lawannya terluka, tentu menuai kepuasan tersendiri. Pemuda itu tetap bertahan menyaksikan adegan tersebut meski harus beberapa kali menguap bosan.

“Laki-laki sejati nggak akan menyakiti wanitanya dengan sengaja!” Napas Lumi terengah lantaran amarah menyesaki dadanya. Rasa panas di telapak tangan kanan bekas menampar Rafdi tak ia pedulikan. Ada seorang lagi yang harus mendapatkan ganjaran serupa.

Meluruskan pandangan, sepasang kaki berbalut skiny jeans itu maju selangkah. Iron yang tak mengerti maksud Aluminia, menaikkan satu alisnya. “What are you do—”

PLAK!

Iron membeku. Wajahnya terlempar ke kiri. Praktis tangan kanan yang sejak tadi memeluk pinggang wanita berpakaian mini di sampingnya terlepas, berganti menangkup pipi yang terasa berdenyut akibat sapaan manis dari tangan mantan pacar musuh bebuyutannya. Para penonton bukan lagi menahan napas, tatapan ngeri mereka lepas pada Lumi. Gadis yang malam ini berani bertindak kasar terhadap dua pemuda penerus bisnis ternama Indonesia.

“Lo!” Iron mendesis mengerikan. Selama ini, tak ada satu pun perempuan yang berani menamparnya. Sementara Rafdi yang manyaksikan tingkah Aluminia, hanya bisa terpaku di tempat. Bahkan teman wanita Iron tampak berjengit atas tindakan tak terduga gadis itu.

Alih-alih merasa takut, Lumi mengangkat dagu tinggi-tinggi. Menatap lurus kelereng coklat terang milik Iron. Rafdi tak sepenuhnya salah. Pemuda inilah yang patut mendapat penghakiman, karena dia yang lebih dulu mencetuskan taruhan terkutuk ini. Rafdi sempat menolak dan menawarkan mobil kesayangannya sebagai ganti. Tapi, Iron malah mengatainya laki-laki pecundang yang sukses membuat Rafdi tertantang.

“Elo nampar gue?!” Suaranya menggelegar di keheningan pertengahan malam. Jalan pinggiran kota Jakarta tempat mereka berkumpul memang berjarak sedikit jauh dari kebisingan lalu lintas kendaraan. Semua penonton kembali menahan napas. Iron Hanggara, dikenal sebagai seorang pemuda tegas yang tak mengenal gender bila sudah macam-macam padanya.

Mengangkat telapak ke udara, Iron siap melayangkan balasan yang sama. Namun, suara gadis itu sukses menghentikan pergerakannya.

“Jadi ini yang namanya laki-laki sejati?” Nada santai yang ia ucapkan kian menyulut amarah di dada sang lawan bicara. “Bermain kasar pada wanita?” Setengah mati Lumi berusaha terlihat baik-baik saja. Semakin ia menuruti amarah, semakin besar kepala manusia di depannya.

Berdecih, Iron menurunkan tangan, menyentuh pundak kiri Lumi dan mencengkram keras di sana. Ia memajukan kepala, mendekatkan bibir tepat di samping telinga Lumi lalu berbisik keji, “Siapa pun yang berani macam-macam sama gue, akan mendapat balasan setimpal, Nona. Siapa pun!”

Lumi menelan ludah. Deru napas Iron yang menerpa tengkuk membikin bulu romannya meremang. Tak tahan dengan sensasi mengerikan dari pemuda itu, beserta rasa sakit yang teramat di pundak, ditepisnya tangan besar Iron yang langsung terhempas. Lumi berjinjit, mengikis jarak di antara mereka hingga dua hidung mancung nyaris bersentuhan, lantas berbisik lirih, “Elo salah nyari lawan, Tuan,”  balasnya penuh janji.

Tak berniat menunggu balasan kata dari Iron, dia berbalik. Melangkah angkuh melewati Rafdi tanpa mau menoleh sedikit pun, diiringi tatapan setajam elang si sulung Hanggara yang seolah berusaha melubangi kepalanya, mengabaikan mereka-mereka yang mulai membicarakannya terang-terangan, juga Rafdi yang sejak tadi memilih bungkam.

°°°

Repost, 23 Nov 2021

Sayap-sayap PlastikDonde viven las historias. Descúbrelo ahora