Jantung gue berdegup keras. Mungkin karena ini pertama kalinya orang manggil gue Cathrine.

"Hei. Lo gapapa?"

"Eng..iya. gue gapapa." kata gue sambil tersenyum paksa.

"Kalo ga bisa senyum ga udah maksa gitu. Udah jelek makin jelek muka lo."
Gue mendengus. Gue kembali ke rutinintas gue. Melihat ke arah sungai.

"Lo sendirian? Abang lo mana?"

Gue noleh ke arah Nando.

"Lo kenal abang gue?"

"Lah? Yang waktu itu jemput lo itu kan?"

"Oh yayaya."

"Jadi kenapa lo sendirian?"

"Bukan urusan lo." kata gue judes.

"Tentu aja ini urusan gue. Lo sendirian di sini. Lo itu cewek. Kalo nanti ada preman-preman yang kemaren gimana? Ayo gue anter pulang." Nando narik tangan gue.

Pulang? Pulang kemana?

"Ga mau." Gue menghentakkan tangannya.

Nando cuma natap gue heran.

"Gue ga tau harus pulang ke mana." jawab gue linglung

"Yah ke rumah lo lah bego." umpat Nando.

"Tapi gue juga ga tau rumah gue di mana."

Nando natap gue cengo.

"Lo amnesia?" tanya Nando hati-hati.

"Kalo gue amnesia gue udah ga bakal kasih tau nama gue sompret." sembur gue.

"Jadi? Kenapa lo bisa-"

"Bukan urusan lo. Pulang deh lo sana." usir gue.

"Ga bisa. Gue bukan cowok gentle namanya kalo ninggalin cewek sendirian di sini. Apalagi cewek yang mau bunuh diri."

Gue mendengus.

"Lo mau bunuh diri yah?" tanya Nando.

"Lo ternyata cerewet juga ye. Kepo banget deh."

"Lo mau bunuh diri kenapa?" tanya Nando tanpa mengubris umpatan gue tadi.

"Bukan urusan lo."

"Gue bilangin yah. Seberat-beratnya masalah lo. Jangan pernah lari dari masalah. Itu sama aja dengan pengecut."

Gue tertegun.

Gue ngacak-ngacak rambut gue frustasi.

"Terus gue harus gimana? Rasanya tuh sakit banget. Gue ga bisa nahan sakit ini terlalu lama."

Gue nangis.

Nando diam.

Hanya ada suara isak tangis gue.

Tiba-tiba gue ngerasa ada yang peluk gue. Dan itu Nando. Gue ga nolak. Gue emang butuh sandaran untuk hari ini.

Setelah gue lumayan tenang. Nando melepaskan pelukannya.

"Udah puas?"

Gue cuma ngangguk.

"Ayo ikut gue." Nando narik pergelangan tangan gue.

Gue tetap diam. Nando natap gue dengan binggung. Setelah beberapa detik. Nando menghela nafas.

"Gue ga tau rumah lo oon. Mana bisa gue nganter lo ke rumah lo."

"Bener juga sih. Tapi lo mau bawa gue kemana? Ntar lo nyulik gue lagi. Gue ga bisa percaya sama orang gitu aja."

Karena gue udah di khianati sama orang yang gue percaya. Sambung gue dalem hati.

Nando memutar bola matanya malas.

"Setelah kita peluk-pelukan baru lo ngomong ga percaya sama gue. Maksud peluk-pelukan tadi apa?"

Gue ngerasa pipi gue merah.

"Jadi lo mau ikut gue atau ga?"

"Yaudah deh."

Nando jalan. Dan gue ikutin dari belakang. Nando naik ke motor ninjanya. Gue cuma diam.

"Ayo naik dongok."

"Eng.. kita naik ini?" tanya gue.

"Yaiya. Emang ada kendaraan lain? Engga ada kan? Kenapa?"

Gue cuma ngaruk tengkuk gue yang ga gatal.

"Jangan bilang lo ga bisa naik?"

Gue berdehem bentar.

"Mungkin gitu. Haha." Gue ketawa garing.

Nando cuma mendengus.

"Pegang bahu gue. Buruan."

Gue pun ikutin dan hup gue berhasil duduk di motornya.

"Pegangan yang erat."

Gue ga ngerti maksudnya apa. Mungkin modus? Tapi sesaat kemudian gue tau apa maksudnya.

Sekarang Nando melajukan motornya dengan kecepatan tinggi dan refleks gue megang bajunya. Awalnya gue takut. Tapi lama-kelamaan gue jadi terbiasa.

"Teriak aja. Keluarkan uneg-uneg lo." kata Nando walaupun tenggelam sama berisiknya suara motor dia. Tapi gue tetap bisa denger.

Awalnya gue ragu. Tapi akhirnya gue nurut juga. Gue rentangkan tangan gue dan.

"AAAAAAAAAAAAAA!" gue teriak dengan puas.

Dan orang-orang hanya melihat gue aneh. Tapi gue ga peduli.

Tanpa gue sadari. Gue tersenyum.

Mungkin untuk saat ini gue bisa ngelupain sedikit tentang masalah itu.

---

Jreng jreng jreng.

Vote&Commentnya ditunggu yaw~

The SecretМесто, где живут истории. Откройте их для себя