Chapter 8

3.5K 246 33
                                    


"Kalian tidak ingin aku membenci orangtua kandungku. Tapi dengan menyembunyi kan semua ini. Kalian malah membuatku menjadi membenci kalian."

Mereka terkesiap mendengarkan kata-kataku yang tajam.

"Dan akhirnya gue paham apa maksud lo berdua tentang cinta waktu itu. Ternyata masalah itu."

Tangan Justine terkepal. Keliatan sekali kalo dia lagi nahan emosi.

"Maafin gue kak." katanya lirih.

Tanpa mengubrisnya, Gue bangkit. Gue mau keluar dari rumah yang terasa seperti neraka ini.

"Mau kemana lo?" tanya Bang Raham.

"Bukan urusan lo."

Baru gue mau melangkah keluar. Tapi langkah gue tertahan. Dan gue membalikkan badan melihat kearah orang-orang yang telah membuat kehidupan gue selama ini bahagia.

"Aku sayang kalian. Dan benci kalian."

Gue keluar. Lari. Tanpa melihat ke belakang. Dan nyetop taksi.

"Mau kemana mba?"tanya supir taksi.

Gue ga tau mau kemana sekarang.

Dan akhirnya gue memutuskan untuk ke rumah Augie.

"Jalan Pattimura pak."

Supirnya ngangguk dan mobil pun jalan.

Pak supir buka radio. Dan muncul lagu.

[Play Mulmed]

5 Seconds of Summer - Amnesia.

Lagunya cocok banget sama suasana hati gue.

Gue ikut nyanyi pelan. Dan air mata gue turun.

I wish that I could wake up with amnesia.
And forget about the stupid little things.

Gue cuma tersenyum miris ngedenger lirik dari lagu itu.

"Mbak. Rumahnya yang di mana yah?"

Gue tersentak kaget. Gue buru-buru hapus air mata gue. Dan nunjukin rumah Augie.

Pas gue turun. Gue liat Augie sama Nana berdua di halaman rumah Augie.

Ngapain mereka di sana?

Bukannya Nana ada urusan keluarga?

Dan di sinilah gue.

Sembunyi di dekat pilar-pilar yang membatasi antara rumah Augie dengan rumah sebelah.

"Apaan sih Na? Gue ga ngerti maksud lo." kata Augie.

"Berhenti. Tolong. Berhenti pura-pura bego." jawab Nana masih dengan nada datarnya.

"Gue ga ngerti Na. Ngomong yang lebih jelas dong. Pertama-tama lo datang ke sini. Suruh gue batalin janji. Terus gue di tuduh-tuduh sembarangan. Mau lo apaan?" nada Augie lebih tinggi dari sebelumnya.

Gue tahan nafas.

Gue takut mereka berantem.

Gue pengen keluar dari persembunyian.

Tapi kaki gue ga mau di gerakin.

"GUE TAU GIE. GUE TAU. LO KAN YANG NYEWA PREMAN-PREMAN BUAT NYELAKAIN SANNY KAN?" teriak Nana.

Gue tutup mulut gue dengan tangan.

Gue terkejut

Terkejut karena ini pertama kalinya gue liat Nana semurka ini.

Terkejut juga karna kata-kata Nana barusan.

Gue mohon Gie. Bilang itu bukan lo. Gue mohon.

Sekarang yang ada di pikiran gue hanya itu. Memohon agar semua itu hanya kesalahpahaman.

Augie berdecih. Dan ketawa licik.

"Iya. Gue yang ngelakuin itu. Terus lo mau apa?"

Deg.

Gue membeku.

Ya Tuhan. Apa lagi ini?

"Lo tanya gue mau apa? Kenapa lo lakuin ini semua? SANNY ITU SAHABAT LO!." emosi Nana udah sampai ke ubun-ubun. Dadanya terlihat naik turun karena berteriak.

"SAHABAT? HAHAHA CIH. LO PIKIR GUE NGANGEP DIA SELAMA INI SAHABAT? DIA GA LEBIH DARI SEKEDAR MUSUH GUE." teriak Augie ga kalah kencang.

Jadi selama ini. Apa yang lo lakuin sama gue apa? Apa maksudnya?

"Apa maksud lo?" tanya Nana. Dengan nada yang kembali tenang.

"GUE. GUE BENCI DIA NA. GUE BENCI SAMA KEHIDUPAN DIA YANG SANGAT SEMPURNA NA. DIA PUNYA SEGALANYA. KASIH SAYANG KELUARGANYA. PRESTASI. SEDANGKAN GUE? ORANG TUA GUE AJA SEKARANG ENTAH DI MANA." jerit Augie frustasi.

Iya. Orang tua Augie kabur saat dia masih berumur 5 tahun. Dan dia di titipkan ditempat tantenya sampai sekarang.

Tapi lo ga tau Gie. Hidup gue sekarang tidak sempurna lagi.

Rahasia itu.

Sangat menyakitkan Gie.

Dan sekarang.

Gue dikhianati lagi. Sama orang yang gue sayang.

Air mata gue turun.

"Dan lo tau Na. Gue nyewa preman-preman buat menghancurkan hidupnya. Tapi ada aja yang halangan. Hidup dia terlalu sempurna Na. Orang kayak dia ga pantes hidup."

Mendadak lutut gue lemas.

Plak.

Gue terkesiap.

Nana nampar Augie.

Augie natap Nana ga percaya.

"Lo! Lo ga pantes ngomong kayak gitu. Seharusnya yang ga pantes hidup itu lo. Orang yang ga pernah bersyukur atas hidup. Lo ga lebih hanya seorang pengecut yang memendam rasa iri." kata Nana tajam.

Gue ga sanggup lagi liat mereka berantem.

Gue keluar dari tempat persembunyian.

Masih dengan air mata di pipi gue.

Augie yang pertama kali melihat gue. Langsung membelalakan mata.

"San...ny?" kata Augie tergagap.

"Ya. Ini gue." Kata gue sambil tersenyum. Bukan senyum hangat seperti biasa. Tapi senyum miris.

Nana membalikan badannya. Dan melihat gue.

"Lo udah denger semuanya?" tanya Nana tenang.

Gue cuma ngangguk lemah.

"Jadi. Selama ini. Lo cuma berpura-pura? Gue ga nyangka Gie." kata gue.

"Sanny. Ini...Gue minta maaf." kata Augie nunduk.

Nana mendekati gue.

Gue menjauh.

Nana memandangku heran.

"Jangan mendekat! Lo Na. Ga jauh beda sama keluarga gue. Menyembunyikan sebuah rahasia yang sangat mempengaruhi kehidupan gue. Gue benci orang kayak gitu. Dan gue udah ngerti apa maksud pertanyaan lo kemaren."

Nana mengigit bibir bawahnya.

"Dan lo Gie. Makasih udah buat gue mengerti arti sebuah kehidupan. Dan makasih juga. Udah buat gue mengerti kata pengecut yang sebenarnya."

Gue menghapus air mata gue bentar.

"Ingat kata-kata gue ini. Mungkin untuk yang terakhir kalinya gue bakal bilang ini ke kalian."

Gue tarik nafas bentar.

"Gue sayang. Dan juga benci kalian. Makasih. Gue pergi."

Gue lari lagi. Gue tetap lari tanpa memperdulikan panggilan dari Nana.

Tell me this is just a dream.
'Cause I'm really not fine at all.

Siapapun. Tolong bantu gue bangun dari mimpi buruk ini.

Gue mohon.

---

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang