14. Takdir yang Menakutkan 2

Mulai dari awal
                                    

"Kamu nggak mau tahu apa yang dia ceritakan padaku?" tanyanya saat aku tidak merespon ucapannya.

"Dia cerita apa?" Walaupun sekarang aku tidak ingin mendengar apapun yang berhubungan dengan Nore, mau tidak mau akhirnya aku bertanya karena tidak mau membuat Adam kecewa.

"Dia sedang jatuh cinta." Jawabannya menghentikan tanganku yang sedang mencuci piring. "Dia bilang alasannya pergi karena wanita yang dia cintai menolak cintanya hingga membuatnya patah hati."

Adam bergerak mendekatiku dan memelukku dari belakang. Bibirnya mencium tengkukku lembut. Hanya hembusan nafasnya yang bisa aku dengar, saat aku memanggil namanya dia memelukku makin kencang.

Kami berada dalam posisi seperti ini selama beberapa menit, sebelum kemudian dia berbisik. "Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Semuanya. Terima kasih karena memilihku dan mau menjalani hidup denganku."

Saat itu aku pikir Adam mengucapkan itu untuk pilihanku yang lebih memilih dia daripada kedua orangtuaku. Ternyata...

Sekuat tenaga aku menahan amarahku, hingga aku harus menghembuskan nafasku berkali-kali agar aku bisa sedikit tenang.

"Aku akan mencari rumah sakit dan waktu untuk melakukan tesnya."

"Tidak akan ada tes apapun!" bantahku tegas.

"Aku akan tetap melakukannya, dengan atau tanpa izin kamu."

"Lika anak Adam."

"Bagaiamana kalau bukan? Bagaimana kalau akulah papanya?"

"Nggak, dia anak Adam. Mereka mirip satu sama lain, mereka memiliki senyum yang sama."

"Aku juga memiliki senyum itu."

Bantahannya membuatku terdiam, Nore benar dia juga memiliki senyum yang sama.

"Aku akan melakukan tes itu, dengan atau tanpa izin kamu. Kamu boleh tetap berpikiran Lika adalah anak Adam, terserah. Tapi, kemungkinan besar aku juga Papanya. Dan jika benar, aku juga punya hak untuk membesarkannya dan berharap Lika bisa memanggilku dengan panggilan yang seharusnya."

Nore berjalan melaluiku begitu saja.

Aku terpaku, dia pergi padahal aku belum bicara sepatah kata pun.

*****

Segalanya berjalan buruk beberapa hari kemudian. Berkali-kali Nore menghubungiku, dia mengirimkan pesan tanpa henti agar kami bertemu, saat aku tidak juga menggubrisnya  cara yang dia gunakan adalah datang ke rumah atau ke kantor. Aku cukup pandai bermain kucing-kucingan dengannya selama beberapa hari hingga berhasil menghindarinya, namun akhirnya Nore kehabisan kesabaran. Di hari ke enam aku menemukan dia menungguku bersama Lika di kamar tidurku.

"Mama udah pulang? kok tumben mama cepat pulangnya?" Lika bertanya ketika melihatku pulang lebih awal dari biasanya.

"Iya, mama nggak enak badan." balasku, sambil terus menatap Nore tajam. Bertanya tanpa kata, bagaimana dia bisa ada di kamarku.

"Mama sakit?"

"Mama cuma kecapean, kurang istirahat kayaknya. Lika lagi ngapain?"

"Lika tadi belajar piano sama Om Nore, terus abis itu mandi, terus main puzzle. Lihat mah  Lika bikin apa?" Lika menunjukkan hasil puzzle yang berhasil dia susun. Pemandangan langit malam lengkap dengan bintang-bintangnya. "Untung ada Om Nore, jadi Lika bisa cepet nyusunnya, Satu jam lebih lho mah. Tangan Lika sampai capek."

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang