Bertemu Kawan Lama

103 1 0
                                    

Aku melintasi gerbong kereta dengan terburu-buru, nyaris saja aku terlambat menumpangi kereta menuju kota kelahiranku. Namaku Emily, umur 35 tahun. Baru saja bercerai empat bulan lalu dan anak tunggalku, sedang meluangkan liburan musim panas dengan ayahnya Derrick. Pergi memancing dan ke pantai, katanya. Tentu dengan kekasih Derrick, Patricia yang walaupun sudah menghancurkan rumah tangga kami; –sebenarnya aku tidak mau mengatakan ini- menyayangi Karen. Sebenci apapun aku dengan Patricia, aku tahu bahwa Karen adalah anak murid kesayangannya. Patricia selalu memuji betapa Karen adalah anak manis yang cerdas dan terlalu banyak bertanya. Namun, kenyataan  pahit adalah: aku tidak menyangka bahwa Derrick mencintainya dan rela meninggalkanku. Aku tidak menyalahkan Derrick, aku tahu bagaimana hidupnya terguncang saat ia tahu bahwa aku mengandung Cynthia. Selama empat bulan yang terasa panjang, aku ingin mengistirahatkan diri sejenak dan menemui ayah dan ibuku yang berhasil mempertahankan perkawinan mereka selama 62 tahun di St. Luciana.

Perjalanan terasa membosankan dengan pemandangan yang terus menerus berkelebat dan jujur, kalaupun aku ingin membaca buku; tidak perlu 10 menit untuk aku mengeluarkan semua sarapanku. Tetapi, seseorang menghampiriku dan tersenyum.

“Emily, apakah itu kau?” tanyanya.

Mataku mengobservasi selama beberapa detik sebelum,

“Diana!! Apa kabarmu?”

Sahabat masa kecilku, Diana selalu bermain denganku sebelum aku lulus sekolah menengah dan hidup sendirian di New York. Diana yang kuingat adalah gadis periang penuh tawa dan cantik. Aku selalu bangga menjadi temannya. Aku cemburu dengannya, memang; tetapi aku merasa bahwa kecemburuan itu hilang apabila kau sangat menyayanginya. Tetapi yang berdiri di hadapanku bukanlah Diana yang kuingat saat kecil; kerutan wajahnya menyimpan banyak hal selama 17 tahun berlalu. Walaupun ada kilas kecantikannya, Diana terlihat lebih tua dari yang kubayangkan untuk seseorang berumur 35 tahun.

“Tidak disangka kita akan bertemu kembali menuju St.Luciana, Emily. Aku sudah hilang kabar darimu bertahun-tahun,”

Dari situlah, perjalananku tidak terasa membosankan. Aku bertemu dengan Diana, sahabat karibku masa kecil. Walaupun aku tidak lagi menganggap Diana sosok ‘The Girl Next Door’ tetapi aku tidak bisa tidak teringat kembali apa yang membuatku menyukai Diana.

Kami bercerita panjang lebar, sampai pada akhirnya Diana terdiam dan menatapku. Seperti menganalisa keraguan dirinya pada diriku. Aku hanya menunggunya berbicara, tidak menanyakan. Hal itu berlangsung beberapa detik sampai pada akhirnya Diana berbicara.

“Emily, aku mengidap penyakit psikologis. Aku mempunyai kepribadian ganda,” katanya setengah gemetar. Memecah bom ditengah damainya cuaca.

Aku menatapnya tidak percaya. Diana Clarington, sahabat masa kecilku. Teman periang penuh tawa yang selalu melempar lelucon. Teman yang sering datang untuk berenang dalam kolam renang karet. Teman yang kubanggakan, ternyata merupakan korban kekerasan semenjak kecil.

Mendapatkan dirinya disiksa fisik dan psikologis, dilecehkan dan dianiaya sejak kecil membuat hatiku hancur. Selama tiga puluh lima tahun aku hidup, aku tidak akan pernah menyangka Diana Clarington, mengalami apa yang lebih dari aku alami selama belasan tahun. Apakah Diana yang selalu tertawa saat bermain ayunan itu adalah Diana yang sudah menderita? Mengapa ia masih bisa tertawa?

Diana ClaringtonWhere stories live. Discover now