"Jadi kami ingin-"

"MAU JADIIN KAKAK DOKTEW PWIBADI LUCIAA!!" Lucia menyela cepat dengan mata berbinar dan wajah ceria.

Dokter pribadi? Aku? Hah?

"Maaf tapi-"

"Coba kamu pertimbangkan dulu Reiva, kami tidak segan segan untuk membayar mahal. Lucia tidak pernah suka dokter, tapi selama seminggu ini kami harus mendengar celotehannya dan semuanya tentang kamu Reiva." Aku mengusap tengukku gugup, apalagi saat semua mata terarah kepadaku. Terlebih Lucia dengan mata nya yang bulat besar.

"Maaf tapi saya-"

"Biarkan aku yang mengurus dia kak." Laki-laki itu memutar tubuhku menjadi ke hadapannya hanya dengan satu tangan yang berada di bahuku. Aku menatap Lucia digendong oleh Liam dan dibawa menjauh, menyisakan aku dan empunya mata biru langit ini.

"Kita bertemu lagi... "

"Terus?" Aku bahkan tak menyangka jika aku baru saja berbicara sesinis itu, tapi melihat dari ekspresinya yang kaget, sepertinya aku baru saja mengatakannya. Senyum sinis sudah mulai kembali muncul, membuatku memutar mataku kesal.

Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap kali melihat dirinya, bawaannya selalu kesel, dan geram. Entah, apa mungkin karena senyum sinisnya itu atau karena fakta aku memikirkannya selama 5 hari ini.

"Saya masih sibuk pak, saya permisi." Aku melewati dirinya, berharap kalau dia tidak menahanku. tapi harapan tinggal harapan, tanganku ditahan, dan aku ditarik ke tempat semula.

"Aku masih belum selesai, dan jangan harap aku melepaskanmu sebelum aku selesai berbicara denganmu." Aku mendesah kesal. Oh wow, aku bertemu dengan seseorang yang begitu suka memerintah selain kepala dokter.

Aku menghela sebuah nafas panjang
" Jadi apa mau anda?"

"Jadi dokter pribadi Lucia."

"Saya gak bisa, saya gak mau lepas-"

"Siapa bilang kamu keluar dari rumah sakit ini? Kamu bisa bekerja sebagai dokter anak disini, dan menjadi dokter pribadi Lucia."

"Ya tapi-" Tetep aja, menjadi dokter anak yang sibuk dan menjadi seorang dokter pribadi dari putri kesayangan keluarga Moreteau terdengar seperti mimpi buruk untukku.

"Sebelum kamu menolak lagi ma choupinette, apa kau tau kalau keluarga More selalu memberi donasi besar kepada penyandang cacat, kanker, tumor di rumah sakit ini?" Aku mengangguk, mengiyakan. Bukan rahasia lagi kalau keluarga More adalah pendonasi terbesar di rumah sakit ini.

Bahasa prancis lagi, bahasa prancis. Apa dia tak tahu kalau aku sama sekali tak mengerti sedikitpun bahasa tersebut?

"Ya dan?"

"Aku akan menarik semua donasi yang diberikan, dan tidak akan ada sepeser pun yang keluar untuk rumah sakit ini, jika kau tidak menyetujuinya. " Mataku membulat mendengar omongannya. Apa aku baru saja diancam oleh seseorang yang bahkan belum kuketahui namanya?

"Anda harus tau, uang tersebut digunakan untuk para pasien penderita tumor dan kanker." Tenggorokanku tercekat, dan rasanya tidak cukup hanya menghajar wajah puas yang sudah dihiasi senyuman di hadapanku.

"Aku tau, dan karena sebab itu aku menariknya. Jika kamu tidak setuju, maka keluarga More akan berhenti untuk memberikan donasi ma chèr."

Aku menatapnya tak percaya. Laki laki di hadapanku benar benar sudah kehilangan pikirannya.

"Anda benar benar gila!" Umpatanku seolah tidak berhasil mempengaruhinya. Bukannya malah menunjukkan wajah kesal, ia malah tersenyum dan tangannya mendongakkan daguku.

Wajahku memerah saat menyadari kalau jarak antara diriku dengannya hanya beberapa sentimeter, dan aku tidak pernah berdekatan dengan seorang laki-laki sampai sedekat ini. Bau parfumnya mulai tercium, dan jujur itu membuatku semakin terlena di dalam mata biru langitnya yang sudah berkilat-kilat puas, menunjukkan perasaannya saat ini.

"Bisa tolong jauhin tangan anda" Aku dapat merasakan jantungku hampir meledak sekarang, tetapi tidak akan pernah kutunjukkan ekspresi itu di hadapannya.

Aku tidak akan jatuh lagi, tidak akan jatuh lagi ke dalam perangkap laki-laki lagi. Reiva kamu harus ingat, tampang bukan berarti segalanya.

Saat aku menyadari tidak ada yang berubah, aku mendorong tubuhnya menjauh dan menunduk, mengilaskan permintaan maafku kepadanya dan mengambil 3 langkah mundur dari dirinya.

Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya lagi, seolah itu memang sudah otomatis muncul untuk membuatku sebal.

Aku menghela nafas pelan sebelum menatapnya
"Maaf, tidak baik jadi tontonan."

"Kutunggu jawabanmu ma chèrie."

"Jawaban saya tetap tidak." Aku mundur selangkah saat raut wajahnya berubah serius dan dia mulai mendekatiku.

Aku dapat merasakan nafasnya di telingaku saat dia mulai membisikkan kalimatnya
"Aku tidak menerima itu sebagai jawaban ma douce, karena satu satunya hal yang kuanggap jawaban hanyalah iya."

"Apa arti dari ma douce?"

"Bagaimana jika kau cari tau sendiri?" Dengan senyum misterius dia berjalan melewatiku, meninggalkanku dalam dilema besar yang diakibatkan olehnya.

Dan sepertinya aku lupa satu hal.

Aku masih belum tau siapa namanya.

The Perfect DoctorWhere stories live. Discover now