SATU

2.2K 129 23
                                    


SATU

Fleur

Aku tak peduli bila seluruh dunia menganggapku sebagai gadis paling bodoh sejagad raya. Aku, perempuan yang nyaris menikahi the most eligible bachelor in town, memilih minggat dan menghancurkan impian beribu, bukan!, berjuta gadis atau bahkan janda di seluruh muka bumi. Aku bahkan yakin, mereka pasti sudah bersiap-siap saling mencakar dan menendang sedetik setelah aku melepaskan titelku, demi memperebutkan kursiku. Aku mengangkat bahu. Tidak pada siapa-siapa.

Seperti biasa, setiap jumat pagi, aku akan mencuri waktu demi menghabiskan entah segelas atau bahkan bergelas-gelas kopi di kedai kopi ini. Hanya kebiasaan, kupikir. Aku hanya ingin berdiam diri. Berkencan dengan kopi, the great Diana Krall, dan rokok. Aku tahu kedai kopi ini berjodoh dengan Jumat dan diriku sejak desah Diana Krall menghuni udara.

Aku bertopang dagu. Oh, tidak! Aku bukannya sedang memikirkan bajingan bertopeng rupawan yang berpendapat bahwa status tunangan itu hanyalah, well, hanya sekadar status. Status yang tak bisa mencegahnya meniduri beberapa gadis lain dengan dalih- toh, semua pria bertunangan melakukan hal yang sama. Aku terlalu berharga untuk diperlakukan seperti seonggok sampah. Aku mengibaskan rambut panjang yang nyaris menutupi wajahku. Aku tidak serendah itu. Aku bahkan tak membutuhkan pria. Semua yang kulakukan, atau tepatnya aku dan Josh lakukan, hanya menjual mimpi. Tapi, peduli apa?

Hidup ini hanya mimpi yang teramat sangat panjang. Membosankan terkadang. Sekaligus melelahkan. Manusia hanya makhluk arogan yang terlalu mengagungkan cinta. Dan, bagai pesakitan, aku menikmati setiap tetes air mata yang dikucurkan oleh para pria jahanam itu. Sejujurnya, sejak pria-pria dalam hidup kami, maksudku kami adalah diriku dan Naia, belahan jiwaku, menampakkan wujud aslinya sebagai monster berlendir hijau yang menjijikkan, aku tak pernah menyerah membuat dunia berbalik.

Tak seharusnya wanita merindukan romantisme yang muluk. Dan tidak seharusnya pria menjual romantisme mereka demi secuil kenikmatan yang berbaur keringat dan erangan gairah di tempat tidur. Atau di mana pun.

Saat nyaris setahun lalu Josh, salah satu mantan pacarku, out of the blue, muncul di hadapanku dan membawa ide sinting itu, aku tak bisa berpikir apa pun. Aku hanya tahu, mungkin itu jawabannya.

Aku bukan seorang pemimpi. Tapi aku menjual mimpi. Lebih tepatnya, meminjamkan mimpi. Aku hanya perlu memastikan mimpi macam apa yang klien kami miliki. Bila mimpi itu buruk, aku akan menggunakan pecut untuk membangunkan mereka. Ya, akan ada keluh kesah dan tetes air mata. Tapi mereka tak akan pernah menyesalinya.

"Lo pernah mikir nggak, Fleur, kayaknya darah lo udah berganti sama kopi."

Aku mendongak dan tersenyum.

Naia. Itu namanya. Namanya seunik orangnya. Ia adalah perempuan modern fans fanatik fengshui dan Oprah Winfrey Show. Perempuan berpenampilan mencolok ala nyonya-nyonya elit dengan celak mata terlalu tebal, pipi merona yang sama sekali tidak malu-malu, dan bibir bergincu merah menantang. Semua itu masih ditambah dengan gaun bercorak macan tutul berani lengkap dengan sepatu hak sepuluh senti yang membalut tubuh padatnya. Kulitnya semulus bayi dan warnanya sepucat susu. Tak ada kata yang lebih tepat menggambarkan sobatku ini selain- menakjubkan. Kami adalah sahabat sehati dan sejiwa, sahabat sejak SMA, tak peduli betapa bertolak belakangnya penampilan kami.

Ia menaruh pajangan kodok berkaki tiga di bawah meja kasir. Akan merayu uang datang. Itu kata fengshui. Nyonya muda kaya kurang kerjaan. Dibekali butik supaya tidak merecoki tuan yang sibuk berbinis sampai dini hari. Dengan kemeja beraroma alkohol dan wanita. Ada bekas lipstik di ujung kerahnya. Tubuhnya panas dan loyo. Itu karena sudah puas berpesta dengan dua-tiga perempuan yang mengerumuninya seperti semut merah menyantap permen yang ditinggalkan di meja dengan bungkus terbuka.

WHEN SHE'S DEAD (Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang