Aku mendapati Zenas, Beta Lucian berdiri di depan pintu bersama dua orang lainnya. Mereka menunduk saat melihat aku mendekat.

"Sebaiknya Anda jangan masuk saat ini, Luna. Alpha sedang tidak terkendali." Kata Zenas. Penampilannya tidak kalah kacau dari Dad. Sepertinya Lucian benar-benar mengamuk tadi.

"Tidak apa-apa, aku bisa mengatasinya." Kataku yakin.

Zenas tampak cemas. "Tapi bagaimana jika Alpha akan melukai anda, Luna?"

"Dia tidak akan melukaiku. Jadi, biarkan aku masuk." Perintahku padanya. Sebenarnya aku juga tidak yakin, tapi aku tetap harus melakukannya.

Zenas masih tampak menimbang-nimbang, tapi kemudian akhirnya mengangguk. Dia menyerahkan sebuah kunci yang cukup besar kepadaku. Seolah mengerti dengan tatapan bingungku, Zenas menjelaskan kunci apa itu.

"Alpha dirantai, Luna." Ucap Zenas pelan.

Aku membelalakkan mataku terkejut saat mendengar apa yang Zenas katakan, dan dengan terburu masuk ke dalam kamar. Aku menarik napas sejenak, optimis jika apa pun yang terjadi, aku tidak akan lari. Dan, percaya jika aku pastu bisa mengatasinya.

Tapi, sepertinya pemikiran itu tidak akan bertahan lama, jika yang kudengar selanjutnya adalah suara anak kunci yang diputar.

Aku membeku sejenak, sebelum berbalik ke belakang. Dan di sana, aku melihat Lucian tengah memutar anak kuncinya, bahkan sekaligus mengaitkan kunci slot dan rantainya, namun mata lelaki itu tak berpaling dariku.

"Lucian ..." Lirihku yang memancing picingan mata darinya.

"Kesalahan besar kau masuk ke kamar ini sendirian saat aku sedang dalam kondisi seperti ini." Lucian berjalan ke arahku dengan langkah pelan. "Apa tidak ada yang memperingatimu untuk tidak masuk?"

Aku berjalan mundur menjauhinya, sambil melirik cemas ke arah pintu. Zenas bilang Lucian dirantai, sehingga membuatku panik dan tanpa pikir panjang langsung masuk ke sini. Tapi, yang kulihat malah sebaliknya. Apanya yang dirantai jika Lucian dapat bergerak bebas seperti ini?!

"Itu, aku ... aku ... "

Mata lelaki itu menajam saat aku bergerak menjauhinya, "Kau menjauhiku?" Terdengar nada tak suka dari suaranya. Dia melirik ke arah tanganku, kemudian tersenyum sinis. "Mate yang baik. Kau berniat melepaskan ikatan rantaiku ya?" Tanyanya yang kuangguki walau aku bingung mengapa dia tidak menyebut namaku dan lebih memilih memanggilku dengan mate. "Mereka itu lugu sekali." Lucian berdecak, "Memangnya mereka kira aku selemah apa sampai berpikir dapat mengekangku dengan rantai itu?"

Aku meneguk ludah saat melihat Lucian menyeringai ketika aku tersudut di dekat ranjang. "Lucian, dengarkan aku. Kita--"

"Aku bukan Lucian."  Desisnya marah, mata itu berkilat saat menunduk ke arahku. "Kau tidak bisa mengenali aku siapa?"

Apa maksudnya?

Aku mengernyit, dan tersentak kaget saat menyadari ada yang berbeda dari dirinya. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari, mata itu, bukanlah warna mata Lucian.

"A-Alec ... ?" Tanyaku.

Kulihat sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas, menampilkan sebuah senyuman yang berbeda dengan senyuman milik Lucian. "Ya Sayang, ini aku ... Alec." Jawabnya.

_______


Aku masih duduk mematung saat mendengar Lucian menyebut dirinya Alec. Aku melihat sekali lagi ke arah matanya yang berwarna coklat terang dengan pendar emas. Seharusnya aku ingat pernah melihat bola mata itu saat dulu Lucian menunjukkan sosok serigalanya. Dan suaranya ... suara Lucian terdengar menjadi lebih berat dan serak. Jadi, ini suara Alec?

My Mina ✓Where stories live. Discover now