"Aku boleh pergi sekarang?"

"Terserah kau saja, Tuan muda."
Naetra tersenyum mendengar nada Romeo yang masih begitu kesal dengan perdebatan kecil mereka.


"Sebaiknya aku pergi sebelum kau menyerangku."

"Brengsek."

**

Jeritan kesal itu teredam musik yang semakin menggila, menghentak gelasnya di pantry bar dengan suara bedebum keras. Jemarinya mengepal dengan kesal, sisah sampanye bahkan masih berkilauan dibibir ranumnya yang sedikit terbuka karna terengah.

"Aku akan membunuhnya!"

"Liandra."

"Apa dia gila!?"

"Liandra."

"Apa dia ingin mati!? Kenapa begitu sulit mendengarku untuk menjauh dari tempat terkutuk ini!?"

"Aliandra!"
Bartender dihadapannya berteriak yang disesalinya saat sepasang mata indah yang sedang berkibar penuh kekesalan menatapnya dengan tajam.

"Apa!? Kau akan berpihak padanya? Apa kau tidak lihat bagaimana dia membuatku datang ketempat terkutuk ini tanpa ponsel dan dompetku yang tertinggal di loker?"

"Liandra, Please."

"Aku bahkan hanya memakai alas kaki dari rumahku, Gay!"
Bartender yang lebih muda darinya itu menghela nafasnya putus asa saat beberapa pasang kata menatapnya bahkan menertawainya.

"Panggil aku Grayson, Liandra."

"Kau sama saja! Menyebalkan! Tidak bisakah kau memahami situasiku saat ini?"

"Bahkan lebih dari yang kau tahu, Liandra."
Gadis itu mengikat rambut panjang ikal berantakannya dengan asal , lalu bergegas bangkit.

"Kau banyak bicara, aku sebaiknya pulang."

"Hei-"
Grayson kehilangan kata katanya saat gadis yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus tipis itu melenggang dengan alas kaki rumahnya, berdesakan lalu menghilang diantara lautan manusia.

Benar benar.

Grayson bahkan berani bertaruh jika gadis itu masih mengutuk saat ini.

**

Brengsek!

Apa kau mabuk Liandra?

Gadis itu menghentakkan kakinya kesal, lupa merampok uang taxi atau setidaknya mantel hangat Grayson karna udara dingin yang kini menyambutnya dipelataran gedung.

Pilihan yang dimiliki Liandra saat ini hanya kembali masuk dan mengambil uang taxi, menjemput dompetnya di loker restaurant lalu pulang dan tidur dengan tenang di Apartemen mungilnya.

Lindra berbalik cepat hingga membentur punggung keras yang membuatnya memekik pelan.

Brengsek!

Sebenarnya ada apa dengan semua pria dimuka bumi ini!?

Lindra mengangkat wajahnya, bersiap melayangkan ribuan sumpah serapah yang berakhir dujung lidahnya saat sepasang mata tajam itu menyambutnya dengan dingin.

Oh, ya tuhan.

Liandra mengatupkan bibirnya yang terbuka, menelan salivanya susah payah. Tanpa sadar mundur selangkah lalu seseorang menabrak punggungnya dengan keras hingga tubuhnya terhuyung, jatuh dalam dekapan dada bidang dan lengan lengan kokoh yang menahan bahunya.

Lemon.

Lindra menahan nafasnya, mengangkat wajahnya perlahan membalas mata kelabu yang sedang berkilat tajam kearahnya.

"Maafkan aku."
Telapak tangan itu beranjak dari lengannya, mengambil langkah melepaskan Lindra dari dekapannya yang seketika kehilangan kehangatan yang nyaris membakarnya beberapa saat lalu.

"Perhatikan langkahmu, Nona."
Suara berat kasar itu kembali mengalun tanpa emosi, menyembunyikan tangannya kedalam saku dengan mata kelabu yang kini menatapnya dengan tenang.

"Sekali lagi, maafkan aku."
Pria itu mengangguk pelan sebelum berlalu dengan langkah lebar meninggalkan Liandra yang masih terdiam di tempatnya.

Manarik nafas dalam dalam berusaha mencari jejak aroma lemon memabukkan yang masih memenuhi rongga dadanya hingga nyaris melupakan apa yang membuatnya berada ditempat penuh kebisingan ini.

Dan mati kedinginan.

**

Gedung megah itu begitu angkuh menggapai langit, kaca gelapnya tampak berkilauan saat tertipa cahaya dari gedung gedung disekitarnya.

Tanpa tahu jika seorang pria masih disana, duduk diantara cahaya tamaram dari jendela raksasa yang menyuguhkan keindahan langit malam yang penuh hingar bingar.

Kedua sudut bibir itu perlahan tertarik membentuk senyuman menawan, netra tajam keemasaannya berbinar indah. Membius siapapun yang akan dengan senang hati meletakkan hidupnya hanya dalam pangkuannya.

Tubuh tegap yang masih terbalut setelan mewahnya bergegas bangkit, melangkah penuh perhitungan mendekat kearah jendela seraya menyembunyikan jemari panjangnya disaku celana.

Menciptakan siluet yang begitu sempurna dibawah cahaya tamaram.

"Tuan-"

"Sebentar."
Suara beratnya menyela dengan tenang, membiarkan sosok diantara kegelapan itu memilih kembali bungkam dalam keheningan malam.

Yah, hanya sebentar.

Bukankah, mereka memang sedang bertaruh dengan waktu?

Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi atau bahkan akhir dari semua ini.

Suka tidak suka.

Siap tidak siap.

Karna semuanya bahkan baru saja dimulai.

"Aku harap kau suka kejutanku."

**

*

Repost lagi ya 😌

**

Jangan Lupa Vomment
Maaf Typo

Siera

GOING CRAZY [COMPLETED]Where stories live. Discover now