Diujung Batas

901 35 4
                                    

Hanya sebuah cerpen tentang....

Rintik-rintik hujan mengguyur malam kota Jakarta yang tidak pernah sepi. Semakin deras, semakin banyak genangan-genangan air dimana-mana. Saluran air yang tak lagi mampu menampung air langsung memuntahkannya kejalanan.

Dua pasang kaki kecil saling mencipratkan air satu dengan yang lainnya. Tidak ada rasa takut kotor, tak ada rasa takut sakit, dan tak ada rasa jijik sedikitpun. Senyuman tak bisa lepas dari bibir-bibir mungil yang mulai membiru dan bergetar itu.

Setelah dirasa tubuhnya menggigil kedua anak berusia 6 dan 8 tahun itu menepi. Sang kakak menarik adiknya kebawah jembatan yang sudah mulai ramai oleh pengendara-pengendara motor yang tidak berani menerobos sang hujan.

Saling menggenggam satu sama lain, itulah yang dilakukan kakak beradik itu. Sang kakak seakan tak mau berpisah dengan adik kecilnya yang sedang sibuk memeras rambut sebahunya dengan tangan kiri karena tangan kanannya berada digenggaman tangan sang kakak.

"main lagi yuk" ajak sang kakak, dia berniat untuk menarik adiknya, namun niatnya terhenti saat melihat darah mengalir dari hidung adiknya. Dia terkejut, seketika dia diam karena bingung harus melakukan apa.

"Dingin mas" kata sang adik, tubuhnya mulai menggigil, bibirnya semakin membiru. Tangan kirinya kini memegang kepalanya. Lalu beralih ke hidungnya. Seketika tangan mungilnya terkotori darah yang mengalir di hidungnya. Matanya yang polos terus menatap tangannya yang berlumuran darah. "Mas kok ingus dedek merah?" tanyanya dengan wajah polosnya.

Sang kaka langsung membungkuk didepan adiknya. Berniat untuk menggendong sang adik, karena dia tau adiknya sedang sakit. Dia menyuruh adiknya naik ke atas punggungnya, setelah dirasanya adiknya sudah berada di gendongannya dia langsung berdiri dan berjalan ke depan menengok kekanan-dan kekiri saat jalanan lengang dia langsung berlari menyebrangi jalan secepat yang dia bisa.

Fikiran sang kakak langsung tertuju pada Rumah Sakit mewah yang ada di ujung jalan sana. Hujan masih setia mengiringi langkah mereka. Selama perjalanan banyak sorot mata yang memandang mereka berdua dengan iba, ada yang hanya mengamatinya dari jauh tanpa berniat sedikitpun menolong mereka, ada yang tampak acuh dengan mereka, dan ada juga yang berteriak marah karena beberapa kali mereka hampir tertabrak mobil karena kurang berhati-hati.

Mata sangkaka tidak lepas dari gedung rumah sakit yang sudah semakin terlihat di ujung sana. Hingga dia tak menyadari kakinya yang tidak beralaskan kaki mulai menginjak serpihan kaca yang entah dari mana datangnya. "Aww.." Ringisnya kesakitan.

Kedua tangan sang kakak secara refleks melepaskan pegangannya di kaki adiknya dan langsung meraih kakinya yang kini berdarah. Genangan airpun berubah warna dari coklat kemerah-merahan.

BRUKKK!

Tubuh sang adik terjatuh di belakangnya, dengan posisi terlentang. Kepala bagian belakangnya membentur aspal dengan kerasnya, membuat kepala sang adik semakin pusing.

"Dedek maafin mas, dedek jangan mati, biar ibu aja yang mati karena ninggalin kita dijalanan kayak gini, dedek jangan mati" sang kaka meraung di samping adiknya. Semakin bingung harus melakukan apa. Tangannya terulur kekepala adiknya yang mulai mengalirkan darah dibagian belakang.

Sang kakak mengangkat adiknya dengan tangan kanannya berada di leher adiknya sementara tanagn kirinya berada di lutut adiknya. Tubuhnya yang sama-sama kecil membuat sang kaka sempoyongan dan beberapa kali hampir menjatuhkan adiknya. Sang kakak sudah tidak memperdulikan kakiknya yang semakin perih karena goresan kaca itu semakin melebar.

"Dedek mas gak kuatt, ayo banguunn" untuk kesekian kalinya sang kakak meletakkan tubuh adiknya ke trotoar, karena tenaganya tidak terlalu kuat, setelah tenaganya sudah dirasanya cukup, sang kakak berdiri lagi dan mengangkat adiknya lagi. Langkah yang sedikit-sedikit itu akhirnya mampu membawa dua bocah itu di depan gedung Rumah Sakit elit yang tadi ditujunya.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang