2 : Waktu Yang Berjalan (Revisi)

5.3K 417 40
                                    

Aku Gisma, gadis yang memendam rasa untuk sahabatnya sendiri, Edgar. Aku sering bertanya-tanya dalam hati, apakah perasaan yang tumbuh ini wajar? Kami ini sahabat, seharusnya tidak ada kata cinta di dalamnya, bukan?

Menurut quote di sosial media yang pernah aku baca, katanya laki-laki sama perempuan yang sahabatan nggak bakalan selamanya jadi sahabat, karena seiring waktu berjalan, salah satu dari mereka akan memiliki rasa lebih—atau malah keduanya. Dulu sekali, aku pernah mempertanyakan kebenaran dari kalimat tersebut. Tentu saat itu aku belum mempunyai rasa—barangkali sudah mempunyai tetapi aku belum menyadari—kepada Edgar.

Aku salah. Aku memang salah. Kenapa aku masih saja membiarkan perasaan itu berkembang?

Aku mengira Edgar juga memiliki rasa sepertiku. Ya, percaya atau tidak aku pernah berpikiran seperti itu karena kami sangat dekat. Tetapi kenyataannya, Edgar menyukai orang lain. Orang itu Disti.

Ngomong-ngomong soal Disti, dia gadis yang bisa dibilang populer di sekolah. Tubuhnya seperti model, wajahnya cantik, rambutnya hitam panjang. Kalau orang-orang melihatnya sekilas pasti langsung mengira bahwa gadis ini feminim banget. Kalian gak bakalan berpikiran kalau Disti kapten basket kan? Yap! Dia kapten basket putri di sekolahku. Meski aku tidak terlalu mengerti tentang basket, tetapi yang aku lihat Disti bermain dengan sangat lincah dan luwes.

Disti seperti madu yang amat manis, hingga diincar berbagai jenis lebah. Banyak yang suka padanya, dari kaum adam maupun hawa. Maklum saja, dia gadis yang baik, berbakat, juga pintar. Mungkin ini salah satu alasan kenapa Edgar juga kepincut sama Disti. Suatu fakta yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

Aku ingat, sewaktu aku dan Edgar berjalan kaki menuju rumah, dia bercerita padaku tentang Disti ... dan perasaannya.

Aku tidak akan tega mengacuhkan perkataannya waktu itu—meski aku sendiri sangat panas mendengar ceritanya. Aku tetap mendengarkannya, mengumbar tawa palsuku, dan senyum yang terlalu dibuat-buat. Mulai saat itu, aku berbohong padanya. Semua hal menyangkut dirinya juga Disti.

Bohong dalam artian mendukungnya untuk berani mendekati Disti.

Nyatanya, saat bibirku memberikan dukungan, hatiku malah sebaliknya. Dia tidak mendukung, sangat!

Tapi apa daya, Edgar adalah sahabatku dan aku adalah sahabatnya. Bukankah sahabat harus saling mendukung?

Sekali lagi, di sini akulah yang salah. Berani-beraninya mencintai Edgar yang jelas-jelas adalah sahabatku sendiri, tanpa memikirkan resikonya.

Biarlah, aku tidak masalah. Meski setiap waktu aku harus berdusta pada hatiku untuk menyenangkan Edgar, aku akan melakukannya. Aku akan selalu mendukungnya, tersenyum padanya, dan menyiapkan telinga untuk mendengarkan segala curhatannya, tak terkecuali tentang perasaannya pada Disti. Aku akan berusaha untuk kuat.

Demi Edgar.

Walau itu berarti, aku menyakiti diriku sendiri.

Tidak apa.

Ya, setidaknya untuk sekarang aku masih kuat—mencoba untuk kuat.

"Gis!"

Aku terkesiap dan menoleh kepada Edgar yang barusan menepuk bahuku. "Kenapa, Gar?" kataku, lalu menyeruput es jeruk yang sama sekali belum aku sentuh.

"Lo tahu? Gue seneng banget hari ini!" katanya masih dengan senyuman lebar.

Aku tersenyum dan menatapnya antusias. Wajahnya sangat berseri, hangat, dan menyejukan. Aku sangat suka dengan ekspresinya yang satu ini.

RA(I)N [3/3 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang