Prolog - Jatuh

39 2 3
                                    

Jatuh

Jatuh

Jatuh...

Entah sudah berapa kali ia mengulang –menyerukan- kalimat itu dalam hatinya. Nafasnya tercekat tiap kali ia menatap tanah di bawah sana. Berbanding terbalik dengan pikirannya, kedua tangannya masih menggengam pagar pengaman setinggi satu meter itu. Bergetar tiap kali ia mencoba mencondongkan tubuhnya lebih maju. Kedua kakinya masih menapak pada tepian terluar atap bangunan itu.

Jangan...

Sisi lain hatinya selalu berteriak. Membuatnya bimbang untuk lebih mencondongkan tubuh atau melepaskan pegangannya. Perasaan yang membuatnya masih bertahan di ujung sana.

Ia tidak pernah setakut ini sebelumnya. Bisa saja ia kembali memanjat pagar untuk kembali ke sisi yang lebih aman, namun ia tidak mau kembali. Tidak dengan semua beban yang dipikulnya. Tidak dengan semua perasaan yang selalu menghantuinya. Atau harapan dari orang-orang disekitarnya.

Reina bukan gadis lemah. Karena itu ia masih berdiri di sana sampai sekarang. Berpegangan pada pagar dengan kedua telapak tangan yang mulai berkeringat. Ini bukanlah pertama kalinya ia berada di posisi antara hidup dan mati seperti itu. Berulang kali merasakan sensasi 'jatuh' dan kembali memanjat pagar. Itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Walaupun pada kenyataannya ia tidak pernah melepaskan pegangannya, perasaan seperti terjatuh itu sangat nyata. Seolah ia sudah berulang kali menjatuhkan dirinya.

Jatuh...

Jatuh...

Jatuh...

Ia tidak sendirian, ia tahu itu. Selalu ada orang-orang yang tulus mendukung dan menyemangatinya. Tak banyak memang, tapi ia sudah cukup puas. Lalu kalau benar begitu, kenapa ia masih juga ingin melompat?

Saat ia tengah berpikir seperti itu, satu persatu wajah terbayang dalam benaknya. Wajah orang-orang yang ia temui dalam hidupnya. Orang yang membuangnya, orang yang selalu bersikap baik padanya, orang-orang yang selalu mengkhawatirkan dirinya, orang-orang yang mengatakan bahwa mereka mengaguminya, orang-orang yang berbicara buruk dibelakangnya, orang-orang yang selalu membuatnya iri, orang yang memanggilnya 'kakak', orang yang mengabaikan keberadaannya, orang yang selalu menatapnya dengan pandangan benci, kedua sahabat baiknya dan 'orang itu'.

Kemudian berbagai macam memori muncul begitu saja. Saling tumpang tindih dan acak. Kenangan indah hingga buruk semuanya bercampur seperti diterpa badai, membuat kepalanya sakit.

Hentikan!

Tiba-tiba badai itu pergi begitu saja, pikirannya menjadi kosong untuk beberapa saat. Tapi entah kenapa ia merasa tenang dengan kekosongan itu, seolah sebelumnya selalu ada badai dalam otaknya. Lalu ia merasa tergelitik. Mungkin hanya pikirannya saja hingga ia merasa menjadi sangat melankolis saat ini. Seburuk itukah hidupnya?

Kadang ia berpikir, kenapa ia harus dilahirkan kalau tidak diinginkan. Tidak, ia tidak membenci hidupnya, ia bahkan mensyukurinya. Hal yang paling ia benci justru dirinya sendiri yang selalu mempertanyakan arti hidupnya. Dirinya yang terlalu banyak menciptakan topeng hingga ia tidak tahu lagi wajah aslinya. Dirinya yang selalu dikelilingi hubungan palsu. Ia lelah. Entah sudah sebanyak apa kebohongan yang dilakukannya, entah sudah berapa orang yang ia tipu. Kenyataannya ia tidak ingin lagi repot-repot berusaha entah untuk apa.

Semakin hari ia semakin meragukan hidupnya, membuatnya menyimpang semakin jauh. Memangnya demi apa ia terus hidup? Semakin memikirkannya semakin ia terperosok kedalam kehidupan itu sendiri. Seperti kata seseorang, kelahirannya hanya sebuah kesalahan dan ia tidak seharusnya terlibat terlalu jauh dengan kehidupan itu sendiri. Reina membenarkan hal itu. Harusnya ia tak pernah ada, tapi bukankah ia tidak memiliki kewenangan untuk mencegah hal itu terjadi?

Tapi kenapa aku tidak bisa berhenti terlibat dengan orang lain?

Pada akhirnya ia selalu menyusahkan orang lain dan dirinya sendiri dengan terlibat masuk dalam kehidupan orang. Hal yang paling ingin dan tak bisa dihindari. Mungkin karena itu sebagian kecil hatinya berkhianat dan selalu mencegahnya untuk melompat.

Aku... Hanya perlu mengakhiri semuanya.

Dengan semua beban ini, untuk bagian mereka.

Saat ia memutuskan untuk segera mengakhiri hidupnya, ia kembali pada kenyataan. Kakinya masih bergetar hebat, kedua tangannya juga mulai lelah menahan tubuhnya. Jantungnya berdegup cepat dan ia makin sulit bernafas. Ironis. Seolah tubuhnya memintanya untuk tidak melompat.

Ia memejamkan matanya saat merasakan angin kencang yang menerpa tubuhnya. Dingin dan kering. Ia ingin tahu, jika ia melepaskan pegangannya saat itu juga apakah angin itu akan membawanya melayang-layang sebentar sebelum jatuh ketanah. Seperti daun-daun Maple berwarna kemerahan dibawah sana. Merah, kuning dan coklat. Musim gugur yang sangat disukai olehnya. Musim gugur yang indah, ia selalu ingin menjadi bagian dari musim gugur. Dan ia pun tidak lagi merasa takut.

Bukankah tak ada jalan kembali?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 14, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Counterfeit SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang