[1]

32.4K 1.3K 45
                                    

Lelaki itu menatap nanar ke depan panggung. Semua penonton, termasuk dirinya, terhipnotis dengan penampilan apik dari seorang pianis cantik. Wajah tirusnya yang dipoles natural dengan rambut hitam legam yang tergerai berkilauan. Jantungnya berdentum keras di setiap dentingan piano. Bagai nada cerita yang sukses menyayat. Sangat halus, dan mengenyuhkan jiwa. Tak berbicara tapi sangat bermakna. Menggambarkan sebuah rasa melalui irama yang berubah pada temponya.

Dia sukses membawa jiwa para penonton menuju perasaannya. Instrumen Vivaldi dan Beethoven yang ia kombinasikan sukses membuat seisi gedung terpana.

Gemuruh tepuk tangan mengakhiri penampilannya. Semua standing applause, tak terkecuali lelaki itu. Satrio Lazuardi. Dia dibuat terpukau untuk kesekian kali oleh wanita itu. Wanita yang sama seperti dulu, Sinar Arinta.

Samar-samar Arin menitihkan air mata dan membungkuk untuk tanda terima kasih kepada penonton. Hatinya diselimuti bahagia tak terhingga. Penampilan perdananya direspon baik oleh orang lain. Sampai turun panggung pun, senyum masih setia melengkung di wajahnya. Dia tidak bisa menyembunyikan euforia kesenangan yang memenuhi dada.

Rio melihat Arin berjalan meninggalkan panggung dan turun dari sana. Dia langsung bangkit dari kursinya, tidak memperdulikan lagi kelanjutan dari pentas drama ini. Siapa juga yang datang ke sini untuk menonton drama? Rio ke sini hanya untuk melihat penampilan Arin dan menemuinya. Dengan langkah gusar dan jantung yang berdetak cepat, dia keluar ruang pentas dan mengejar Arin yang mungkin sedang di belakang panggung.

Ketika menyusuri lorong menuju ruang pemain, kakinya terhenti melihat wanita yang ia cari sedang berjongkok. Gaun putihnya sampai menutupi lantai. Perlahan dia mendekat, dan menyadari Arin sedang membetulkan high heels-nya.

Sedang berusaha mengaitkan tali heels-nya. Arin menyadari ada yang berdiri di hadapan dia. Sebuah bayangan menggelapkan penglihatannya. Kepalanya mendongak, dan jantungnya berhenti mendapati sosok lelaki yang berdiri.

Dia mematung beberapa saat, dan segera tersadar seraya berdiri dengan tidak seimbang. Jantungnya berdetak cepat, hatinya juga ikut berteriak. Dia menatap Rio tidak percaya.

"Ri-Rio?" Tergagap ia berkata. Seakan kehadiran Rio sebuah mala petaka. Ada apa sebenarnya?

"Bisa kita bicara sebentar, Rin?" tanya Rio.

"Bisa, tapi aku ganti baju dulu. Mau tunggu?"

Arin menenteng sepatunya dan mengangkat gaunnya agar tidak menyapu lantai. Rio mengangguk dan menunggu Arin di depan ruang pemain.

Beberapa kali dia harus mengatur nafasnya yang tidak teratur.
Tenang, tenang. Hanya itulah yang menjadi pengatur denyut jantungnya.

Tak lama, Arin muncul dengan blazzer putih yang pas di badannya, celana jeans biru laut, dan sepatu bertali. Rambutnya yang panjang di kuncir asal.

"Ke restaurant samping aja ya. Aku harus balik ke gedung lagi kalau pertunjukan udah selesai," jelasnya dan Rio mengangguk paham. Mereka jalan berdampingan, dengan Rio yang menggenggam tangan Arin. Dia tidak balas menggenggam, Arin hanya diam, tapi hatinya jauh dari kata diam. Ternyata efeknya masih sama. Apakah perasaannya juga sama?

Sesampainya di dalam restoran, mereka duduk berhadapan dan menunggu pesanan datang setelah memesan.

"Tadi itu best performance and good opening!" Rio membuka percakapan. Arin terkekeh pelan.

"Makasih ya. Tapi bisa-bisanya kamu ngomong gitu padahal kamu cuma liat opening dan gak nyaksiin pentasnya."

"Siapa yang mau nyaksiin pentas, orang aku cuma mau liat kamu," jawab Rio enteng. Lagi-lagi hati Arin melesak bahagia, tapi dia tetap berekspresi biasa.

Here AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang