[5] : The Reason Why I Must Give Him a Chance

Start from the beginning
                                    

Arka sangat tahu didalam hati Adis ada luka membekas yang sangat dalam dan membuat adik kesayangannya itu sulit menerima kehadiran orang baru didalam hidupnya.

"Aku udah ngerasa cukup punya mama, papa, Mas Arka, dan juga Arsen sekarang. I don't need the other people in my life"

Arka mendecakkan lidahnya. Ia sudah memaklumi sifat keras kepala Adis. Sifat warisan yang diturunkan oleh mamanya.

"Yakin Arsen juga? Kalian kan lagi marahan.."

"Lagi marahan bukan berarti dia udah ga penting buatku. He still be a precious part of my life. Always"

Keluarga tetaplah akan jadi keluarga. Mau berapa kali bertengkar, ikatan keluarga tidak akan pernah putus. Arsen juga begitu. Mau ribuan kali Adis bertengkar dengan Arsen, sepupunya itu tetaplah keluarganya yang memiliki arti penting dihidupnya.

"Mau Mas kasih tahu sesuatu?"Arka menyingkirkan piringnya yang sudah kosong melompong dan mendekatkan dirinya kearah Adis diseberangnya.

"Apa?"tanya Adis penasaran.

"Tanpa kamu sadari, Zico sekarang sudah memiliki tempat tersendiri dihati kamu meskipun keberadaannya masih seujung kuku"

"Buktinya?"Adis tidak tahu darimana kakaknya itu dengan mudah menyimpulkan semuanya. Yang mengerti apa yang ada didalam hatinya mestinya adalah dirinya bukan orang lain. Juga bukan Arka.

"Kau membalas pesannya, Dis. Itu sudah cukup menjadi bukti kamu mulai mengakui keberadaan Zico didekat kamu"

"Aku..Aku membalasnya karena..dia terus saja mengirimkan pesan-pesan tidak jelas ke handphoneku"sanggah Adis tidak yakin.

Arka tersenyum puas. Ia bisa merasakan keraguan di balik ucapan Adis. "Serius karena itu?"

Adis terdiam. Adis sendiri juga bingung dan tak yakin dengan ucapannya barusan. Benarkah hanya karena itu?Entahlah. Ia tidak bisa menemukan jawaban pasti didalam lubuk hatinya yang terdalam atas pertanyaan kakaknya itu.

"See..Bahkan kamu sendiri nggak bisa mengelaknya. Mas ta-"

Adis menyuapkan makanannya kedalam mulut Arka. Ia sudah tidak ingin mendengarkan teori-teori tidak masuk akal kakaknya itu walaupun harus ia akui sekarang pikirannya ikut memikirkannya pula. Adis tidak semudah itu membalas pesan kepada orang-orang yang ia kenal terutama kepada orang yang memiliki niat untuk mendekatinya. Pria-pria terdahulu tidak mendapatkan perlakuan yang sama darinya. Mau beribu-ribu kali mereka mengirimkan pesan. Ia tetap dengan gaya tak acuhnya sehingga membuat pria-pria itu mundur teratur dengan sendirinya. Sementara Zico?Ahh..Adis tidak ingin memikirkannya.

"Berhenti bahas beginian. Aku nyesel jadinya cerita sama Mas Arka. Mas nggak netral. Lebih berat sebelah. Nggak obyektif"Adis mengerucutkan bibirnya.

"Justru sekarang mas lagi melihat semuanya dari dua sisi"sahut Arka tak mau kalah.

Adis melirik kearah smartphone-nya yang bergetar diatas meja. Adis memutuskan untuk mengabaikannya. Paling juga Satria yang memintanya cepat-cepat balik ke kantor. Ada beberapa laporan memang yang harus Adis revisi. Tapi Adis juga tidak akan rela melewatkan makan siangnya hanya karena laporan-laporan itu. Perutnya tentu lebih penting. Tidak ada gunanya juga mengerjakan laporan dengan perut kosong. Banyak efek buruknya. Sulit berkonsentrasi. Mood-nya bakalan drop sampai ke titik terendah. Rentan emosi. Alhasil laporannya bukannya tambah baik malah hancur berantakan.

"Dis, telepon tuh. Angkat dulu. Siapa tahu penting"tegur Arka.

Adis menghela napas berat. Si Satria ganggu banget deh. Adis pun dengan malas-malasan meraih smartphone-nya dan menempelkannya ke telinga kanannya.

Hide and Seek LoveWhere stories live. Discover now