[4] : One Step Closer

1.2K 76 0
                                    


Adis merebahkan dirinya diatas sofa dengan paha kiri mamanya sebagai bantal. Tangannya membolak-balik majalah anime kesayangannya. Mamanya dulu suka sekali protes dengan bacaan Adis. Mamanya bilang itu majalah buat anak kecil nggak cocok buat Adis yang sudah berumur diatas 20 tahun. Iya kali jaman dulu, disaat yang orang tahu cuma doraemon.

Tapi coba liat sekarang, banyak anime-anime yang memiliki alur cerita yang kompleks sehingga terkadang cukup menguras kemampuan otak untuk memahami alur ceritanya dan memiliki nilai-nilai yang bisa diambil juga. Ya setidaknya ini lebih baiklah daripada sinetron-sinetron di tv. Acara yang terkadang tak jelas alur ceritanya dan mencapai ratusan bahkan ribuan episode hanya demi sebuah rating.

"Dis, kamu lagi berantem sama Arsen ya?"tanya Arzeti tanpa mengalihkan perhatiannya dari kegiatan menyulamnya. Ini sudah jadi kegiatan baru Arzeti sejak ia berhenti dari pekerjaannya.

"Adis menutup majalah animenya dan menegakkan tubuhnya, mengubah posisinya dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Kenapa mama mikir gitu?"

"Yaa...kalian kalau ketemu nggak pernah rame lagi" Beberapa hari terakhir ini, Arzeti memang menyadari ada yang aneh dengan kedua anaknya itu. Biasanya rame kalau keduanya bertemu mendadak jadi anteng. Adis malah terkesan menghindari pembicaraan dengan Arsen.

"Adis jengkel sama Arsen. Dia it-" Adis tidak lagi meneruskan ucapannya begitu mendengar bel rumah mereka berbunyi. "Biar Adis aja yang buka, Ma" Adis beranjak dari duduknya dan berlari ke ruang depan.

"Mau cari Arsen ya?Arsennya belum pulang"ucap Adis datar begitu melihat sosok Zico didepan pintu rumahnya. Adis kaget juga sebenarnya dengan kedatangan pria ini kerumahnya. Pria yang beberapa terakhir ini rutin mengirimkan pesan singkat ke smartphone-nya walau tak pernah sekalipun Adis membalas balik pesannya. Adis nggak ngerti Zico itu emang lagi kurang kerjaan atau cuma sekedar buang-buang bonusan pulsa. Entahlah Adis tak perduli dan tak mau tahu juga.

"Mau titip pesan buat Arsen?"tanya Adis menawarkan.

"Aku boleh ngomong sebentar sama kamu?"

Adis mengernyitkan dahinya. Sepertinya tidak ada hal yang bisa dibicarakan antara dirinya dan pria itu. Adis tidak berteman dengannya sehingga tak ada cerita yang bisa ia bagikan kepada Zico. Adis juga tidak bermusuhannya dengannya sehingga tak ada yang perlu diluruskan diantara keduanya. Dirinya dan Zico hanyalah dua orang yang tidak saling mengenal atau lebih tepatnya dirinyalah yang tidak ingin mengenal pria dihadapannya itu.

"Siapa, Dis?"terdengar suara melengking Arzeti dari dalam.

"Temennya Arsen, Ma"balas Adis setengah berteriak.

"Suruh masuk, Dis. Arsen barusan telpon kalau temennya disuruh nunggu dulu. Bentar lagi anaknya pulang"

Adis menghembuskan napas pelan. Sebenernya ia berharap pria itu segera menghilang dari pandangannya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman berada di dekat Zico. Pria dihadapannya ini dirasa lebih berbahaya dibandingkan abang tukang ojek didekat rumah Adis. Walaupun tampangnya beringas dan menyeramkan, ia mempunyai hati bak malaikat. Adis ingat sekali, dia pernah ditolong sama abang tukang ojek saat dia kecopetan pas lagi jalan kewarung ujung komplek. Si abang ojek berhasil menangkap pencopetnya dan mengembalikan dompetnya tanpa kurang suatu apapun.

Tidak seperti pria dihadapannya ini, bisa aja tampang luarnya polos tapi dalamnya....who knows. Don't judge from the cover, right? Apalagi Adis tahu sekali kalau pria ini punya niat terselubung kepadanya. Adis bukan orang yang nggak peka sama sinyal-sinyal yang dilemparkan Zico padanya. Sekalipun ia tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, Adis cukup tahu tanda-tanda pria yang menunjukkan ketertarikannya pada seorang wanita dari beberapa artikel yang dia baca. Zico memiliki niat untuk mendekatinya. Hanya saja ia bersikap tak peduli dengan Zico.

Hide and Seek LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang