part 10 : jealousy?

Mulai dari awal
                                    

“Kita mampir ke café dulu. Aku yakin saat ini kamu sedang kelaparan,” jawabnya sambil membelokkan mobil menuju café yang berada di pinggir jalan.

“Iya, dan itu gara-gara kamu!” gerutuku kesal sambil mengingat bagaimana dia seenaknya memakan sandwich yang adalah sarapanku. Brayden tersenyum sekilas melihat betapa kesalnya diriku karena apa yang dia lakukan kepadaku.

“Oleh karena itu aku bertanggung jawab dengan membelikanmu makanan sebagai ganti sandwich yang sudah kumakan,” ujarnya keluar dari mobil. Hah, rupanya dia peduli juga padaku, dibalik sikap nyebelinnya. Aku lebih baik menunggu di dalam mobil saja deh, malas aku keluar.

Tak beberapa lama, Brayden keluar dari café sambil membawa kantong kertas dan dua gelas plastic berlabel café dimana kami berhenti dan masuk ke dalam mobil. Brayden mengulurkan kantong kertas dan salah satu gelas plastic itu kepadaku.

“Woah cupcake, yang rasa coklat lagi!! Thank you Brayden,” ucapku senang. Bagaimana Brayden mengetahui cupcake coklat adalah kesukaanku? Ah, sudahlah tak usah terlalu dipikirkan yang jelas sekarang dua buah cupcake coklat sudah di tangan. Baunya hmm… kayaknya enak nih.

“Sama-sama cupcake!” sahutnya yang memicu kernyitan di dahiku. Apa maksudnya dengan memanggilku cupcake?

***

“Den, aku keluar dari mobilmu duluan ya. Baru setelah beberapa menit kamu keluar. Aku tidak mau orang berprasangka kalau aku dan kamu ada apa-apa,” ucapku ketika kami sudah sampai di parkiran gedung. Brayden tak mengacuhkan perkataanku dan keluar dari mobilnya.

“Memang kita ada apa-apa kok.” Gumamnya pelan namun masih dapat ku dengar. Ih ini anak, aku kan Cuma tidak mau ada gossip yang aneh antara aku dan dia. Mengapa dia malah bersikap seperti itu sih? Bête deh. Lebih baik dia duluan aja deh, aku nunggu bentar lagi dan baru masuk lift.

Brayden berhenti di depan lift dan berbalik menghadapku. Dengan langkah lebar, ia menghampiriku dan menggenggam tanganku lalu berjalan dengan sedikit menyeretku.

“Den, lepasin!” seruku sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya yang terasa sangat erat. Brayden malah semakin mengencangkan genggamannya seakan tak ingin melepas tanganku. Dia kenapa seperti ini sih? Di dalam lift pun Brayden tak melepas genggamannya, hingga akhirnya bisa terlepas ketika aku sudah sampai di lantai tempat ruangan berada. Hah, akhirnya aku bisa bernapas lega, karena tak ada seorang pun yang melihat adegan Brayden memegang tanganku di lift itu.

***

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan ini adalah jam pulang untuk pekerja kantoran seperti aku. Aku sedang membereskan semua berkas dan juga mematikan laptop ketika handphoneku berbunyi nyaring. Tanpa melihat siapa yang menelepon, kuangkat telepon itu.

“Halo,” sapaku kepada orang yang menelepon. Aku tersenyum kepada Tara, Fani, Wina yang pamit kepadaku. Riko terlihat masih menungguku.

“Uli, maaf kita tidak bisa pulang bersama karena aku masih ada beberapa hal yang harus kukerjakan di kantor,” ucap orang yang meneleponku.

Oh iya, aku kan tidak membawa mobilku karena tadi aku dipaksa –catat dipaksa- untuk berangkat bersama CEO arogan kita yaitu Brayden. Haduh terus aku pulangnya gimana dong?

“Maaf banget ya..” terdengar nada penyesalan dari suaranya. Aku hanya menghela napas berat sebelum menganggukkan kepala.

“Eh tidak apa-apa,” sahutku ketika aku menyadari jika orang diseberang telepon tidak bisa melihat anggukan kepalaku. Hehehe, dia kan tidak bisa melihat apa yang aku lakukan.

“Sekali lagi aku sangat meminta maaf dan terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang calon istri paling baik.” Apa yang dia katakan? Calon istri? Wah belum-belum dia mengajak untuk bertengkar ini.

me,my cousin and my workmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang