Dua

48.4K 3.8K 470
                                    

"Tiara, ulangannya itu kemaren dan hari ini lo masih marah-marah. Dan, ini bahkan udah jam istirahat."

Sejak pagi tadi, Tiara terus-terusan mengomel mengenai betapa menjengkelkannya ulangan bahasa kemarin. Padahal kami tadinya membicarakan hal yang benar-benar random, seperti betapa menumpuknya piring yang harus dicuci di rumahku, lalu tiba-tiba Tiara teringat iklan piring bermotif bunga dalam ulangan bahasa kemarin, kemudian dia langsung mengatakan betapa pelajaran bahasa sangat tidak penting dan betapa membaca benar-benar melelahkan mata dan pikiran. Atau misalnya saat aku mengalihkan topik menjadi tindakan pemerintah mengenai asap di Riau, lalu Tiara entah bagaimana teringat asap rokok, lalu teringat wacana bahaya rokok dalam ulangan kemarin, dan sejurus kemudian ia kembali mengomel.

Tiara membalas dengan sewot, "Lo pikir gue nggak tahu?!" Kesimpulanku, dia sedang PMS. Lebih baik aku diam. "Mendingan lo cari meja kosong." Aku menurutinya.

Dengan membawa nampan berisi semangkuk bakso dan segelas es teh, aku berjalan di depan Tiara menuju sebuah meja kosong di tengah kantin. Kami meletakkan nampan kami masing-masing dan akhirnya duduk dengan tentram.

Oke, hanya aku yang begitu (duduk dengan tentram), karena baru sepersekian detik setelah pantat Tiara menyentuh kursi, ia langsung berseru, "Ya ampun, kenapa gue beli mie ayam? Lo inget nggak, kemaren di ulangan ada wawancara--"

"Mendingan lo makan aja, deh," selaku. "Mie ayam, kan, enak." Selain itu, aku juga ingin makan dengan tenang, tahu!

Aku sama sekali heran dengannya. Ia ingat soal-soal ulangan yang menurutnya menjengkelkan, yang bahkan tidak ada gunanya diingat-ingat, tapi kenapa ia tidak pernah ingat yang mana tulang hasta dan yang mana tulang pengumpil? Atau rumus fisika? Atau apapun yang lebih berguna untuk diingat?

"Atau lo pengin makan dengan tenang," cibirnya.

"Iya, itu juga." Aku nyengir.

[+]

Aku berhasil makan dengan tenang. Kami bergosip tentang bagaimana Alexa baru putus dengan pacarnya kemarin dan langsung menerima Adi yang menembaknya saat istirahat pertama tadi, dan tentang Edgar yang tertangkap basah merokok di belakang sekolah (akan lebih masuk akal kalau dia teringat wacana bahaya rokok saat membicarakan ini, tapi sepertinya ia malah tidak ingat apa-apa), dan tentang kakak-kakakku (kakak-kakakku selalu menjadi bahan pembicaraan setiap gadis di sekolah ini--maksudku, setiap gadis di sekolah ini kecuali aku, jadi aku harus terbiasa), dengan sangat santai, seolah-olah sebelumnya ia tidak terus-terusan mengomel.

"Lo tahu nggak, Ra, mood lo gampang banget berubah," komentarku setelah dia berceloteh.

Tiara mendelik. "Gue lagi PMS."

"Iya, gue bisa melihat itu dengan sangat jelas."

Mata Tiara membelalak. "Maksud lo, udah keluar? Tembus?!" tanyanya dengan panik, ia segera bangkit dari kursinya dan mengecek bagian belakang roknya.

Aku memutar kedua bola mata. "Maksud gue, gue temen yang baik sehingga gue mudah membaca sikap lo."

Aku melihatnya menghela napas lega, kemudian kembali duduk. Seolah sebelumnya ia tidak pernah menghela napas lega, ia mendelik kepadaku dan mengomel. "Lo bikin gue panik, tahu."

Aku hanya menghela napas sabar.

Tiba-tiba, Edgar, ketua kelasku yang tadi kami gosipkan, menghampiri kami dengan napas terengah-engah. Dia pasti habis bermain sepak bola karena badannya penuh keringat. Sekaligus bau. Aku harap dia menghentikan kebiasaannya mengisap rokok, karena, kalau dia perokok dan pemain bola, kasihan paru-parunya.

Dia hanya terengah-engah selama beberapa saat sehingga membuat Tiara jengkel. Tiara bertanya tanpa menyembunyikan kejengkelannya, "Lo ke sini cuma buat ngelakuin itu?"

A Librarian's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang