1: The Last Anniversary

15.4K 866 27
                                    

NARENDRA UTAMA

"Happy fifth anniversary, Sayang."

AKU terbangun dan menemukan Ben duduk di hadapanku dengan sebuah cupcake mungil—lengkap dengan lima batang lilin berwarna-warni—di genggaman. Seperti biasa, laki-laki dua puluh delapan tahun dengan hidung bangir dan rambut pendek yang dipotong tipis—serta jambang tipis yang menghiasi kedua sisi dagunya—itu hanya mengenakan celana kargo selutut serta singlet berwarna hitam yang memamerkan tubuh gempalnya. Meski kamar kami kini hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lilin, aku tetap bisa menikmati ketampanannya yang selalu membuatku mabuk.

"Happy fifth anniversary too, Ben," jawabku seraya mengalungkan kedua tangan ke leher jenjangnya sebelum kemudian menempelkan bibirku ke pipinya. Dari jarak segini, aku bisa mencium aroma cologne yang berbaur dengan liquid soap sisa mandinya tadi. Menciptakan perpaduan menggoda yang membuat laki-laki di hadapanku itu semakin terlihat sempurna.

"Ayo make a wish dulu, terus tiup lilinnya." Ben mengerling nakal, menyodorkan cupcake cokelat yang masih digenggamnya. Untuk sesaat, kupejamkan kedua mataku. Lantas kemudian, dengan penuh kesungguhan hati, aku mulai berdoa kepada Tuhan. Berharap agar kebersamaan kami takkan pernah berakhir. Lima tahun lamanya menjalani hubungan dengan seorang lelaki bukanlah perkara mudah. Namun sekarang, aku telah membuktikannya bersama Ben.

Setelah kurasa semua doa yang kupanjatkan cukup, aku lantas kembali membuka mata, sebelum kemudian meniup lilin yang masih berpendar dengan lincahnya. Dalam sekali tiup, semua api yang membakar lilin seketika padam. Diikuti tawa bahagia yang tercetus di bibir merah muda kekasihku itu. Kami lantas berpelukkan, menyatukan perasaan cinta yang takkan pernah mampu didefinisikan dengan kalimat apapun.

"Hayo, bikin wish apa tadi?" tanya Ben lagi. Kali ini, tangan kanannya sibuk memotong-motong cupcake tadi dan menyuapkannya ke mulutku.

"Kamu maunya aku bikin wish apa?" tanyaku balik, menggodanya.

Untuk sesaat, Ben nampak menepuk-nepukkan telunjuknya ke atas bibir, seolah tengah memikirkan sesuatu. "Apa, ya?"

"Tadi aku berdoa, supaya kamu makin sayang dan cinta sama aku, Ben. Aku berharap, semoga kebersamaan kita takkan pernah berakhir hingga maut memisahkan."

Mendengar jawabanku, Ben hanya menatapku dengan tatapan sendu yang tak bisa diartikan dengan kata-kata. Selarik senyum manis nampak tersungging menghiasi raut wajahnya yang memesona. Membuatku semakin mengagumi tampilan fisiknya yang sempurna.

"Aku janji, aku bakal cinta sama kamu sampai kapanpun." Ben meletakkan kue yang tadi dipegangnya ke atas nakas, sebelum kemudian menelusurkan tangannya menyentuh daguku.

"I love you Narendra Utama... so much. Eventough this world gonna end and the sky falls apart," tambahnya dengan suara lembut yang menggetarkan, sebelum menyentuhkan bibir basahnya yang beraroma mint ke bibirku.

Sudah lima tahun ini aku hidup dan menjalin cinta dengan Ben. Sudah lima tahun pula kami menjalani suka-duka kehidupan yang silih berganti hadir di kehidupan. Sejak kami dipertemukan tanpa sengaja di sebuah sky train kala kami masih sama-sama mahasiswa di Nanjyang Technologi University, kami sudah berjanji bahwa kami akan menapaki tangga kehidupan bersama. Aku ingat betul, senja itu, aku melihat seorang lelaki duduk dengan tubuh gemetar dengan satu botol pil di genggaman. Aku yang kebetulan hanya berjarak beberapa langkah darinya, hanya mampu mematung menatap ia yang terus menggigil dengan wajah pucat dan keringat membasahi dahi. Aku kasihan. Itulah yang pertama kali muncul di benakku. Meski kami berdua tak saling kenal, ada satu sisi dalam hatiku yang tak bisa memungkiri bahwa aku peduli padanya.

Kala itu, aku hanya mampu diam menatapnya. Hingga tiba-tiba ia jatuh pingsan di atas kursi bersamaan dengan teriakan panik dari orang-orang yang ada di sampingnya. Dengan sigap, aku lantas memberanikan diri untuk menghampirinya, membopongnya, hingga kemudian membawanya ke rumah sakit terdekat dari Stasiun Punggol. Sejak saat itu, aku tahu bahwa pemuda itu bernama Ben, Benjamin Kaimana. Sejak saat itu, aku juga tahu bahwa ia adalah mahasiswa Indonesia yang senasib denganku, terdampar di universitas bergengsi di Singapura itu karena tuntutan orangtua. Dan sejak saat itu pula, aku sadar... bahwa aku... sudah jatuh cinta padanya.

Lulus dari NTU, kami lantas memutuskan untuk tinggal di sebuah apartemen di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Ben mewarisi perusahaan milik ayahnya yang memilih menikah dan tinggal dengan keluarga baru, tak lama setelah perceraiannya dengan sang ibu. Sementara aku, memutuskan untuk mengikuti passion-ku sebagai jurnalis di sebuah majalah gaya hidup di Ibu Kota. Ben yang notabene berusia tiga tahun lebih tua dariku selalu berhasil melindungi dan membuatku nyaman, meski aku telah kehilangan Ayah dan Ibuku.

-
-

"Kamu lagi ngelamunin apaan, Sayang?"

AKU menoleh ke arah Ben yang kini ikut berdiri di sampingku. Sejak setengah jam yang lalu, aku berdiri di sini, di balkon apartemen memandangi kerlip lelampuan yang menghias langit gelap Jakarta. Hal yang selalu kulakukan jika aku mulai suntuk dengan artikel yang harus kutulis sebelum deadline.

"Past," jawabku singkat. Menerima uluran tangan Ben yang membawaku ke pelukannya.

"Andai aja waktu itu anemia aku nggak kambuh, mungkin kita nggak bakal bersama kayak gini ya, Ren." Ben merekatkan pelukannya di tubuhku, sebelum mengecupkan bibirnya ke tengkukku. Kami berdua masih menatap jauh ke arah jalanan yang dipenuhi cahaya kendaraan serupa kunang-kunang. "Takdir itu memang aneh, ya?"

Tak menjawab, aku hanya mengangsurkan tangan untuk menggenggam jemari Ben. Membiarkan hangat menelusup perlahan dan mendamaikan hatiku. Tak perlu kata-kata untuk membuat orang lain tahu bahwa kita menyetujui setiap ucapannya. Cukup dengan kontak fisik yang bagi sebagian orang terkesan sepele, kadang kita jauh lebih bisa mengutarakan isi hati.

"Bagaimana kerjaan kamu di kantor?" Ben membuka percakapan, mengusir hening yang sempat tercipta.

"Masih kayak biasa. Bergulat sama tumpukan artikel yang masih numpuk dikejar deadline, diomelin sama si botak Maxwell, terus ngegosip ringan sama Arman di kafetaria kantor," jawabku dengan bibir mengerucut. Membuat tangan kanan Ben kini mendarat di atas kepalaku. "Kamu sendiri?"

Ben tak segera menjawab pertanyaanku, ia hanya menerawangkan matanya jauh entah ke mana.

"Oiya, Ren. Besok, aku harus ketemu klien dari Thailand yang akan mendanai proyek dari perusahaanku. Aku akan ke Surabaya selama tiga hari buat meeting dan ngelihat langsung ke lapangan. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal sendirian?"

Entah kenapa, ada semacam pendar ragu yang terpancar saat Ben mengucapkan kalimat itu. Aku bisa mendengar getar yang menggelayuti suaranya.

"Tentu aja aku nggak papa, Ben. Kan udah sering juga kamu pergi buat nemuin klien penting kamu. Bahkan sampai ke luar negeri?" jawabku mengusap dada bidangnya yang menggoda. Berusaha mengenyahkan rasa khawatir yang tak bisa dipungkiri muncul di dalam dada. "Kamu tenang aja, nanti aku bisa minta temenin Arman kalau kamu nggak ada."

Ben hanya tersenyum, senyum yang tak seperti biasanya. "Aku cuma takut kamu bakal kesepian kalau aku nggak ada."

Mendengar itu, aku hanya bisa terdiam. Kenapa Ben begitu aneh malam ini?

"Ya udah, kalau gitu kita tidur aja, yuk? Udah malem, nih. Besok aku udah harus ke airport jam delapan pagi, takut kesiangan," lanjut Ben seraya menunjuk ke arah arlojinya yang menunjuk angka sepuluh malam.

"Ya udah, yuk," jawabku seraya menggamit lengan kokoh Ben yang menuntunku menuju ranjang. Meskipun dalam hati aku menyadari sesuatu yang aneh pada Ben, aku berusaha untuk mengenyahkannya. Mungkin saja itu hanya pikiran negatif yang terlewat sekilas. Sebab malam ini, aku masih ingin mencium aroma musk dari tubuh kekasihku itu.

LOSING YOUWhere stories live. Discover now