"Kalau mengirim foto boleh?"

"Boleh dong."

"Kalau mengirim kado?"

"Ya boleh, itu sih aku suka."

"Mmmm." Ruby memikirkan pertanyaan lain yang akan ia ajukan pada Calum.

"Kalau aku yang mengirim boleh?" Calum mencoba bicara sebelum Ruby memulai bertanya lagi.

"Mengirim apa?" Ruby melayangkan pandangan penuh tanya.

"Mengirim semuanya. Mengirim pesan, kado, kangen, sayang, banyak deh. Boleh nggak?" Alis Calum naik turun dengan jahil.

Mata Ruby melebar dan sedetik kemudian ia sudah terbahak-bahak di depan Calum. "Selamat kamu sukses membuat aku salah tingkah." Ruby menjulurkan tangannya untuk menjabat tangan Calum.

Calum menerima tangan Ruby dan menjabat tangan gadis yang akan pergi besok meninggalkannya. Ia tidak mau melihat gadis itu menangis seperti tadi. Rasanya pilu. Calum rela berpura-pura senang di depan Ruby, asal gadis itu senang. Asal gadis itu bisa tertawa seperti sekarang.

"Harusnya kamu ikut aku, Cal." Ruby sudah berhenti tertawa dan mengambil posisi untuk duduk di bagian depan mobil Calum.

"Iya, maunya juga begitu. Aku takut kamu lupa minum obat kalau nggak ada aku." jawab Calum jujur, entah ditanggapi demikian atau tidak oleh Ruby.

Ruby menoleh ke arah Calum. "Aku nggak minum obat ah kalau kamu bilang gitu."

"Lho? Kenapa?" Calum balik melihat Ruby.

"Biar kamu langsung datang kalau aku nggak mau minum obat. Nanti kan aku bilang ke orang-orang kalau aku maunya minum obat di depan kamu."

"Jangan gitu dong, Ruby. Kalau kamu sakit nanti kita malah nggak bisa bertemu." Calum memberengut dengan sengaja. Ia suka menggoda Ruby.

"Apa hubungannya?"

"Karena kalau kamu sakit, aku juga sakit. Nanti sama-sama sakit, jadi nggak bisa ketemu." Kemudian Calum memamerkan senyum polosnya.

"Ya sudah nanti aku rajin minum obat untukmu." Ruby mengalah pada akhirnya. Luluh oleh senyum Calum yang selalu membekas di otaknya.

Calum mengacungkan jempolnya. Ia meraih dan mendekatkan tubuh Ruby ke tubuhnya. Setelah itu, Calum berbisik di telinga Ruby. "Aku menyayangimu dari sedekat ini maupun sejauh nanti."

Ruby tidak bergeming. Ia menahan diri agar tidak membelokkan arah tubuhnya ke kanan. Ia berusaha menatap lurus ke arah matahari yang terbenam walaupun Calum mengabaikan pemandangan itu. Lebih mempedulikan Ruby yang kemudian dikecup puncak kepalanya.

"Besok kamu pergi untuk kesehatanmu, itu berarti untuk kebahagiaanmu juga. Itu juga berarti untuk kebahagiaanku dan semua kebahagiaan orang-orang di sekitarmu. Aku tahu prosesnya akan memakan waktu lama dan aku juga tahu kamu bisa melaluinya. Denganku atau pun tanpa aku." Calum mengucapkannya setelah ikut memandang matahari terbenam bersama Ruby.

"Kalau gagal, aku tidak bisa menemuimu lagi, Cal." Ruby tertunduk lesu kembali.

Calum menyentuh dagu Ruby dan menaikkannya lagi. "Aku janji kita akan bertemu lagi, kita akan melihat matahari menghilang di ujung barat. Bersamaan dengan menghilangnya rasa sakit yang selama ini kamu pendam setiap hari."

Ruby tidak mengiyakan atau pun menjawab tidak. Yang ia lakukan hanya diam. Ia percaya kalau Calum menyayanginya, hanya saja ia tidak tahu yang barusan dilakukan Calum itu hanya untuk menenangkannya saja atau memang sungguh-sungguh. Seharusnya tidak ada keraguan untuk Calum di dalam hati Ruby. Sejak tadi Ruby berusaha menghilangkan perasaan itu walaupun sulit sekali. Kemungkinan pengobatannya besok untuk gagal memang lebih kecil dengan kemungkinan untuk berhasil, tapi di dunia ini tidak ada yang mustahil. Ruby belum siap meninggalkan Calum.

"Kok diam? Memikirkan apa?" Calum rupanya menyadari ada yang mengganggu pikiran Ruby.

"Memikirkan kamu bakal menjenguk aku atau nggak." sahut Ruby asal.

Calum terkekeh. "Iya aku akan menjengukmu. Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Percaya padaku."

Ruby sedikit terkejut mendengar Calum. Ia takut kalau selama ini Calum bisa membaca pikirannya. Kenapa kalimat Calum bisa begitu tepat?

Dengan pelan, Ruby mengangguk.

"Baguslah kalau begitu," kata Calum. "Aku boleh bertanya sesuatu nggak?"

Ruby mengiyakan.

"Kalau kita bertemu lagi, kamu memangnya mau ngapain?" Calum sebenarnya ingin tahu daritadi karena Ruby terus-terusan minta bertemu lagi.

"Nggak tahu, belum kepikiran. Kamu?" Ruby sedang malas berpikir. Ia lebih senang menikmati setiap waktu bersama Calum yang entah kapan akan didapatkannya lagi.

"Ah, nggak seru. Jawab dulu." desak Calum.

Ruby akhirnya setuju dan meminta waktu berpikir pada Calum. "Aku mau berlama-lama denganmu. Menghabiskan waktuku denganmu seperti biasanya. Melihatmu main gitar dari jendelaku secara diam-diam. Datang ke sini lagi setiap hari tanpa melewatkan matahari terbenam."

Senyum di bibir Calum merekah tanpa sadar. Ia begitu gemas dengan Ruby. Ingin sekali memeluk gadis itu dan membenamkannya ke tubuh Calum. Mengambil alih seluruh beban yang sejak dulu dibawa gadis itu ke mana pun ia pergi.

"Giliranmu, Cal."

"Kalau aku bertemu denganmu lagi, aku mau mendengar kamu berjanji."

"Hah? Janji apa?"

"Janji kalau kamu mau jadi pacarku."

Sekali lagi Calum berhasil membuat Ruby jadi kaku. Kepercayaan yang diinginkan Calum pun mendadak membanjiri diri Ruby. Entah kenapa yang baru saja diucapkan Calum itu terdengar serius. Ruby sangat tahu seperti apa Calum saat bercanda dan yang barusan itu memang spontan tapi tidak bercanda.

"Maka dari itu, besok kamu harus semangat. Semangat sampai bertemu denganku lagi. Aku nggak mau lihat kamu nangis lagi. Cantik sih, tapi lebih cantik kalau nggak nangis. Lebih cantik kalau kamu tersenyum."

Ruby diam dan hatinya berkali-kali lipat lebih ringan daripada sebelumnya. Akhirnya ia mengalah dan mencoba percaya pada Calum serta dirinya sendiri.

"Iya, aku semangat untukmu. Semoga kamu mau menjenguk aku."

"Nggak usah berdoa juga pasti akan kujenguk."

Ruby terkekeh dan menyandarkan kepalanya di bahu Calum. Dalam hati, ia ingin sekali waktu berhenti dan membiarkannya menikmati angin malam ini bersama Calum.

Calum memutuskan untuk meyakinkan Ruby sekali lagi. "Yang tadi aku serius. Nanti kalau kamu kembali, kamu harus janji mau jadi pacarku."

"Iya, aku tahu kamu serius, Cal." balas Ruby santai.

"Giliran mau jadi pacar, baru deh kamu kelihatan tenang. Dasar perempuan." ucap Calum ringan. Terlalu senang dengan tidak adanya penolakan dari Ruby. Sayangnya ia tidak tahu apa yang akan ia dapatkan dari Ruby setelah itu.

Ruby mendaratkan satu pukulan di perut Calum dan membuat laki-laki berambut gelap itu mengaduh.

painkillersWhere stories live. Discover now