1. Trouble Maker

9.9K 513 34
                                    

Aku memerhatikan Pak Siregar yang bercerita tentang murid-muridnya. Beliau guru fisika senior di sekolah ini. Selalu saja ada cerita unik setiap ia ke luar kelas. Seperti sekarang, saat jam istirahat ia tengah memeriksa hasil ulangan harian kelas XII IPA 5 yang membuatnya geleng-geleng kepala.

Kelas itu memang terkenal dikalangan guru karena dihuni oleh murid-murid yang ajaib.

"Bagaimana bisa anak ini lulus ujian jika ulangan hariannya saja ia dapat nilai kursi?" Ucap Pak Siregar dengan logat bataknya yang kental.

"Memangnya kenapa Pak?" tanyaku yang sedang berkunjung ke ruang guru.

"Kau tengok saja jawabab Bianca ini. Ia menjawab soalku asal-asalan. Aku curiga otaknya pindah ke selangkangan."

Bianca? Siswi yang dandanan ke sekolahnya ala girl band Korea? Yang kemarin kutegur gara-gara seragamnya ketat dan roknya pendek? Anak yang sering dibicarakan guru-guru karena mulutnya tidak punya saringan?

"Asal-asalan bagaimana?" tanyaku kepo. Pak Siregar memeriksa soal dengan serius. Meski rambutnya sudah keabu-abuan, tapi penglihatannya masih tajam tanpa kaca mata baca.

"Sebuah pesawat membawa jamaah haji warga muslim Perancis. Bertolak dari Paris ke Mekah. Pada saat yang sama, terjadi badai yang sangat kencang dengan kecepatan v dan arah seperti yang terlihat pada gambar. Dengan memahami sistem vektor dan sifat-sifatnya,
apa yang harus dilakukan pilot untuk mengendalikan pesawat, agar pesawat sampai dengan selamat di Mekah?" Ia berhenti sejenak.

"Dan kau tahu apa jawabannya?"

Aku menggeleng. Pak Siregar menarik napas dalam lalu membacakan jawaban soalnya.

"Berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa."

Aku terbahak mendengarnya. Sampai kemudian seorang anak perempuan berambut kepang dua dan berkaca mata tebal tanpa permisi langsung masuk ke ruang guru dan menarik-narik tanganku.

"Pak...Pak...i...itu!" entah gugup atau memang gagap. Ia bicara mengap-mengap seperti ikan terdampar di daratan.

"Ada apa?"

"I..i..itu di la...lapang ada...yang tinju!"

Tinju? Seingatku tidak ada keturunan Mike Tyson yang sekolah di sini. Dalam hitungan detik sinyal otakku berdengung nyaring mengirimkan tanda bahaya.

***

Aku melangkah tergesa menuju lapang dengan sisiwi berkaca mata tadi yang tidak kuingat namanya siapa. Saat sampai di TKP benar saja ada murid yang berkelahi. Bukan laki-laki tapi perempuan. Satu lawan dua.

Di lapangan banyak siswa yang memerhatikan tapi tidak ada satu pun yang melerai. Mereka malah ikut menyoraki seolah yang mereka saksikan adalah adegan yang tidak membahayakan.

Aku menyakiskan sendiri bagaimana seorang siswi menghajar dua orang sekaligus di hadapanku. Ia menjambak. Menendang. Memaki dengan kasar. Menapampar. Membenturkan kepala lawannya ke tembok.

"Berhenti!" bentakku sambil menarik lengan seorang siswi yang menyerang dua orang temannya dengan membabi buta. Tapi ia tidak mendengarkanku sama sekali, dengan tenaga besar yang entah ia dapatkan dari mana, ia menyiku perutku sehingga aku mundur ke belakang sampai ulu hatiku terasa ngilu.

"Kalian bertiga berhenti!" bentakku. Susah payah kulepaskan mereka agar berhenti berkelahi. Tenaganya ternyata kuat juga. Aku tak tahu dari mana ia mendapatkan tenaga untuk menghajar dua lawannya ini sendirian . Dua lawannya babak belur dengan keadaan berantakan sedangkan ia hanya berdarah di sudut bibirnya saja.

"Kalian ikut saya ke ruangan BK. Sekarang!"

***

Aku menatap bergantian tiga siswi di hadapanku yang duduk di kursi pesakitan. Belum sempat mengatakan apapun Bianca dengan pipi yang memar dan membiru tiba-tiba bicara.

"Dia ngatain saya jalang, Pak!" geramnya sambil menatap Rizky tajam.

"Betul! Dia yang ngatain kami lebih dulu. Dia yang memulai lebih awal." Bela temannya, Lissa.

Bianca dan Lissa disebut jalang? Wajar saja jika memang begitu. Penampilan mereka memang tidak seperti anak SMA dan aku pernah melihat mereka bersama pria hidung belang di club. Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya dua bocah ingusan ini ada di sana.

"Rizky apa benar yang diakatakan Bianca dan Lissa?"

"Ya." Jawabnya cuek. Sama sekali tidak ada raut bersalah di wajahnya.

"Kenapa kamu mengatainya seperti itu?"

Dia mendengus dan menatapku muak. "Sudahlah Pak. Jatuhkan saja hukumannya. Untuk apa saya diinterogasi berbelit-belit seperti ini?"

"Kamu menantang saya?"

"Saya hanya menagih hukuman. Sidang seperti ini hanya membuang waktu. Akhirnya saya tetap akan dihukum kan? Kalau pun dua jalang ini tidak ikut dihukum saya puas karena telah membuat mereka babak belur." Ujar Rizky sambil meniup tinjunya.

Sepertinya aku harus merukiyah anak ini.

Aku tahu sidang seperti ini hanya membuang waktu. Aku pun ingin menghukumnya segera agar ia merasa jera. Tapi aku tetap harus mendengarkan penjelasan mereka sebelum menjatuhkan hukuman. Diplomatis memang. Padahal sikap adil dan sabar tak pernah kumiliki sejak dulu.

Aku seperti melihat cerminan diriku sendiri menghadapi gadis ini. Pemberontak. Tidak mau kalah. Tidak memiliki rasa peduli pada orang lain. Galak dan tentu saja menyebalkan.

Bianca dan Lissa menatap Rizky dengan mata berapi-api. Sedangkan yang ditatap cuek saja tidak peduli.

Rizkyta Putri. Saat pertama kali melihatnya kuakui kalau dia memang gadis yang cantik. Cantik dalam artian sesungguhnya. Wajahnya rupawan. Jelita. Atau apalah kata yang sejenis untuk menggambarkan keindahan dirinya.

Usianya baru 17 tahun. Tapi badannya tinggi bahkan lebih tinggi diantara teman sebayanya yang lain. Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Dan... ehm, lekukan tubuhnya juga indah. Cukup proporsional untuk kriteria seorang model. Ditambah dengan rambut yang hitam tebal dan indah. Yang kuyakin bukan hasil polesan salon.

Ia cantik. Sejak pertama kali melihatnya di parkiran beberapa pekan lalu aku tertarik pada kecantikannya. Wajahnya enak dipandang. Tapi ia pemberontak dan menyebalkan. Ia salah seorang yang menjadi alasan tekanan darahku naik jika dihadapkan pada perilakunya. Ia terang-terangan melanggar aturan tanpa takut atau merasa bersalah. Ia selalu mengulanginya.

Kemarin ia datang ke sekolah menggunakan sepatu berwarna pelangi dan kuku yang dicat warna-warni. Ketika aku mmberinya teguran bahkan hukuman ia hanya menanggapi dengan santai.

"Yang penting penampilan saya tidak mengganggu kemampuan saya dalam belajar." Katanya.

Otaknya lumayan pintar. Tapi sikap pemberontaknya membuatku dan guru-guru yang lain geram. Ia bertingkah seolah sekolah ini adalah milik orang tuanya. Ia bersikap seolah tak ada aturan yang mengatur tindak-tanduknya. Aturan bukan dibuat untuk dilanggar. Ia pikir siapa dia bisa seenaknya bergini?

Ini adalah tahun terakhirnya menyelsesaikan pendidikan di SMA. Kejenuhan belajar sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan apa yang diinginkan sesuka hati. Tapi kenakalannya semakin menjadi-jadi.

Kemarin ia bolos bimbel. Tidak pernah ikut piket. Tidak mengikuti upacara. Tidak mengerjakan PR. Tidak mengikuti pengembangan diri. Dan puncaknya ia bertengkar di sekolah. Memalukan. Ia perempuan atau berandalan?

Tanpa banyak bicara aku memberikan amplop berisi surat panggilan orang tua kepada Rizkyta, Bianca, dan Lisa. Ketiga orAng tua mereka harus tahu kelakuan anak-anaknya. Bertengkar sudah termasuk dalam kekerasan dan itu fatal. Akan lebih baik jika mereka disidang bersama orng tuanya sekalian.

"Besok orang tua kalian harus kemari." Ucapku tegas yang sukses membuat mereka bertiga ternganga.

***


My Ex StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang