Bab 9-Si Dingin Bertaring

Mulai dari awal
                                    

Dia berjalan didepan sementara aku mengekor dibelakangnya, kami tiba di pekarangan rumah. BMW hitam Aldo kelihatan masih basah, ada satu ember hijau berisi air sabun di samping roda depan sebelah kiri dan selang air yang airnya sudah dimatikan tergeletak begitu saja.

Aldo menghilang kedalam garasi, mengeluarkan sebuah mobil Rush berwarna silver. Astaga, berapa mobil yang dia punya? Macam dealer mobil saja.

Aku masuk ke kursi penumpang sebelum dia menyuruhku, mencoba untuk santai tapi tidak bisa. Suasana didalam mobil sangat canggung, kami hanya saling melirik diam-diam. Kudengar sesekali Aldo bergumam tidak jelas, dia mencengkram setir mobil lebih keras setiap kali bergumam.

"Kenapa kau ingin pulang?" tanya Aldo yang memecah keheningan pertama.

"Lily menelpon, juga Ibuku."

Kembali hening.

"Em," panggil Aldo, nampak ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Kau ingat kejadian semalam?"

"Tergantung, bagian mana yang kau maksud?"

Aldo berdeham ganjil, "Lupakan saja." Balasnya.

Aku baru menyadari kalau kami mengarah ke rumah perkumpulan. "Jangan kesana." Kataku, setengah berteriak.

"Kenapa?"

"Bawa aku kerumahku saja, aku sudah membuat alasan yang bagus tentang masalah ini."

"Baiklah."

Aldo memutar kembali mobilnya, mengarahkannya kerumahku. Aku tidak ingin Lily melihatku pulang berdua dengan Aldo, dia pasti akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Terlebih lagi disana ada Ghina, dia sudah pasti punya asumsi yang aneh dengan kejadian ini. Kurasa aku hanya tidak suka dengan opini publik yang kelewatan, lebih baik tidak ada yang tahu.

Setelah melewati waktu yang cukup lama, sudah delapan lagu diputar di radio, kami sampai didepan pintu pagar rumahku. "Terimakasih Al." Kataku, sebelum keluar dari mobil.

"Bukan masalah." Dia menambahkan senyum diakhir kalimatnya, senyumnya terlambat beberapa detik.

"Dan maaf juga kurasa." Aku menambahkan. Sudah sepatutnya aku meminta maaf, kelakuanku sungguh sangat tidak terpuji dan sulit untuk ditolerir, bahkan bagiku sendiri.

"Tidak perlu minta maaf." Katanya, terdengar begitu tulus.

Aku hanya tersenyum malu, mengangguk kecil dan langsung turun dari mobil. Aldo baru pergi setelah aku masuk kedalam rumah. Aku berjalan gontai menuju kamarku dilantai dua, kuperhatikan tidak ada tanda-tanda kehidupan dari kedua orangtuaku. Baguslah, aku terbebas dari dosa berbohong pada orangtuaku.

Tapi ketika aku membuka pintu kamarku dan mendapati Lily duduk diujung ranjangku, menatapku dengan marah. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong, semua alasan yang sudah kupersiapkan gagal total.

Aku sudah membuat alasan untuk kukatakan pada Lily, bahwa tadi malam aku pulang kerumah dan beristirahat. Karena awalnya kupikir dia tidak akan kesini, nyatanya dia disini. Semuanya berantakan, aku tidak tahu ekspresi apa yang harus kutunjukan saat ini. Aku hanya mematung menatapnya.

Lily berdiri, matanya memandangiku seperti menilai. Raut wajah marahnya mendadak hilang, "Kenapa tidak memberitahuku kalau kau ingin pergi?" tanyanya.

Aku tidak mendekatinya, mencoba menjaga jarak tidak terlalu dekat padanya. "Awalnya hanya spontanitas." Jawabku.

"Kau bisa mengabariku."

"Aku lupa."

Lily tersenyum, "Pasti itu sesuatu yang menyenangkan sampai kau lupa mengabariku. Mau memberitahuku pergi kemana kau tadi malam?"

[TD-2] Destiny Blood (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang