Bab 9-Si Dingin Bertaring

7.8K 633 96
                                    

Sepertinya aku baru tidur beberapa jam saja, namun rasa berdenyut di kepalaku memaksaku untuk bangun. Erangan-erangan kecil lolos dari mulutku setiap kali kugerakkan tubuhku, tenggorokkanku terasa perih dan mataku lengket. Perlahan kubuka mataku, sinar matahari masuk dengan lantang dari pintu kaca pembatas balkon. Pintunya terbuka setengah, angin yang berhembus masuk sama sekali tidak terasa sejuk melainkan agak panas sekaligus kering.

Masih di kamar yang asing dan di ranjang yang tidak kalah asingnya, kuedearkan pandanganku kesekeliling ruangan sambil mencoba menegakkan tulang punggungku dan duduk. Hidungku seperti disumpal kain basah, terasa panas setiap kali kumenarik napas. Mataku menangkap jam dinding kotak warna hitam, jarumnya menunjukkan pukul setengah dua belas. Ternyata aku tidur cukup lama.

Aku mengumpat karena mengingat sesuatu. Aku bergulir kesamping ranjang, tanganku meraih sebuah tas selempang kecil warna hitam milikku dari atas nakas. Kuambil ponselku dan melihat layarnya dengan penuh kengerian. Satu panggilan tak terjawab dari Aldo, empat panggilang tak terjawab dari ibuku, dua panggilang tak terjawab dari Aisyah dan dua puluh tujuh panggilan tak terjawab dari Lily dan setumpuk pesan singkat dari Lily dengan banyak tanda tanya dan tanda seru.

Aku dalam masalah besar.

Kusingkap selimut tebal yang hanya menutupi kaki kananku dengan terburu-buru, turun dari ranjang. Dinginnya lantai kayu dibawahku sempat membuatku berjingit kaget sebelum akhirnya terbiasa dan mulai melangkah keluar dari kamar ini.

Aku setengah berlari saat menuruni anak tangga yang berputar, berhenti sesaat di anak tangga paling bawah. Kemana aku harus mencari Aldo? Rumah ini bisa dibilang luas, juga menyeramkan. Nuansanya coklat alam, seperti tinggal didalam rumah pohon hanya saja beratus-ratus lipat lebih bagus.

"Aldo?" panggilku ragu-ragu.

Tidak ada jawaban, jadi kupanggil sekali lagi dengan volume suara lebih keras. Karena tenggorokkanku begitu kering, aku tercekat saat memanggil namanya dengan nyaring. Aldo akhirnya muncul, kaos putih oblongnya sudah basah sehingga lekukkan tubuhnya terceplak dengan sempurna.

"Maaf, aku tidak tahu kau sudah bangun." Katanya.

"Sedang apa kau?" tanyaku.

"Mencuci mobil."

"Kenapa?"

"Kau muntah di kap mobilku tadi malam." Jawabnya, menaikan alisnya.

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal, "Sungguh? Aku tidak ingat." Sebetulnya aku tidak ingat sebagian besar dari kejadian tadi malam, kecuali saat... well, saat-saat yang sanggup membuat wajahku bersemu merah setiap kali aku memikirkannya. "Maaf soal itu." Tambahku.

Aldo mengangguk canggung, berdeham. "Kau mau sarapan? Atau mungkin makan siang, berhubung ini memang sudah hampir siang. Aku sudah membuatkanmu sarapan, tapi mungkin sudah dingin lagi sekarang. Aku bisa membuatkanmu yang baru, untuk makan siang tentu saja."

Aldo memandangiku dengan tatapan lucu, seperti baru menyadari kalau dari tadi dia hanya mengoceh sementara aku memandanginya aneh.

"Bisa antar aku pulang sekarang Al?"

Aldo mengerutkan keningnya, "Pulang? Sekarang?"

Aku mengangguk.

Aldo terdiam untuk beberapa saat, aku tidak tahu apa yang berkecamuk dipikirannya saat ini. Tapi lalu dia mengangguk, "Aku ganti pakaian dulu, tunggu sebentar."

Aku mengangguk.

Terlalu malas untuk menjelajah tempat ini, jadilah aku duduk di anak tangga menunggu Aldo. Untunglah tidak butuh waktu lama untuk Aldo mengganti pakaiannya, tidak sampai lima menit dia sudah kembali dengan pakaian kering. Aku berdiri saat Aldo sampai di anak tangga yang kududuki.

[TD-2] Destiny Blood (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now