Chapter 5

1K 38 2
                                    

Aku membantunya mencari buku-buku. Tidak yakin kalau dia akan berhasil dengan sendiri mengerjakan tugasnya, jadi aku membantunya. Sebenarnya, lebih banyak aku yang mengerjakan tugas ketimbang Samantha. Dia masih sibuk-sibuknya mengocehiku tentang Tom. Aku jadi semakin yakin kalau otaknya sudah benar-benar konslet.

Aku berjalan tersungkur-sungkur dibawah deras hujan, sialnya aku sedang berada diluar dan tidak membawa payung. Barusan aku sudah kelar mengerjakan tugas kelompok bersama Samantha. Sebelumnya Samantha sudah membujukku agar aku diantar sampai kerumah. Tapi aku menolaknya, tidak enak dengan kedua orangtuanya.

   Hujan masih deras, tapi aku harus pulang. Melihat hujan yang terus turun seperti ini pasti tidak akan berhenti, jadi lebih baik aku pulang daripada harus menunggu hujan reda. Aku mulai berjalan di sepanjang trotoar jalan. Jalannya sangat sepi, bahkan tidak satupun orang dan kendaraan yang lewat di sini.

  Masih banyak lahan yang kosong ditumbuhi pohon-pohon besar bagaikan hutan disepanjang jalan ini. Aku berjalan di samping pohon-pohon besar, menyesal juga tidak menerima tawaran Samantha.

Bosan juga aku berjalan seorang diri disini. Aku menoleh kesamping, memberanikan diri melihat ke area pohon. Sekilas aku melihat bayangan hitam melompat dari satu pohon kepohon yang lain. Aku makin mempercepat langkah ku menyadari ada yang tidak beres di sini.

  Sreeet,, aku mendengar gesekkan aspal dan langsung menghadap ke belakang. Aku berhenti berjalan dan memutar pandangan ku ke segala arah, aku hanya melihat lampu jalan yang berganti warna dan ayunan papan toko yang tertiup angin kencang. Tidak ada siapapun di sepanjang jalan ini.

  Tapi tetap saja aku merasakan ada sesuatu yang mengikuti ku dari tadi. Aku berusaha menghiraukannya dan kembali berjalan. Aku memandang sekelilingku, memastikan tidak ada siapa-siapa. Aku mempercepat langkahku dengan terburu-buru. Saat itulah aku menangkap sosok pucat yang diam tak bergerak itu.

Seorang pria muda sedang bersandar di pintu depan toko, yang tepat berada di depan ku, matanya menatapku lekat-lekat. Aku benar-benar takut melihat orang yang berada tepat didepanku itu. Tidak kurang dan tidak lebih dari jarak 3 meter.

Aku langsung mengarahkan pandangan dan memundurkan badan ku begitu terburu-buru hingga nyaris tersandung kerikil kecil di belakangku.

  Untunglah aku beruntung, aku menegakkan badan ku sebelum jatuh. Aku menarik napas panjang, berusaha tenang, dan berhati-hati mundur lagi, kali ini lebih baik. Aku memandang lurus ke depan ketika melihat cowok itu, namun sekilas aku bersumpah melihatnya tertawa.

   Cowok itu semakin mendekat ke arah ku, dengan perlahan dia berjalan kearahku. Semakin dia maju, semakin aku mundur. Semakin dia maju, semakin aku mundur, begitu seterusnya. Aku bisa melihat jelas bagaimana wajah pria itu.

Pemuda itu tampan berwajah serius yang mengenakan pakaian serba hitam. Pakaian itu senada dengan rambutnya yang dipotong pendek acak. Kulitnya yang pucat tampak berkilau diterpa cahaya bulan. Segala sesuatu dalam penampilannya membuatnya tampak seperti pangeran-pangeran dalam dongeng manusia yang suka diceritakan Samantha dan ditertawakan olehku. Ketampanannya terlalu berlebihan, terlalu tak bercacat.

  Pria itu semakin melangkah dekat kepadaku hingga tepat berada didepanku. "Senang bertemu dengan mu." Pria itu tersenyum tulus dan sorot matanya menggambarkan kegembiraan. Nada suaranya rendah dan indah.

  Aku segera memutar badanku dan berlari sekencang-kencangnya. Sial! Tidak ada siapapun disini. Bagaimana ini? Aku berlari menyusuri trotoar jalan, berusaha melihat orang lain dan meminta pertolongan. Saat aku sedang berkonsentrasi memikirkan bagaimana nasib ku selanjutnya. Dengan tiba-tiba pria tampan itu muncul kembali didepanku.

Bagaimana dia bisa menyusulku begitu cepat. Aku bersumpah sudah berlari kencang dan melihatnya sudah jauh dibelakang.

Aku semakin berjalan mundur sampai aku tidak menyangka aku akan bertabrakan dengan dinding dibelakangku. Dia berjalan kearahku, senang atas tersudutnya aku. "Kau? Ada apa, apa masalahmu denganku?" suaraku gemetaran.

   Tanpa basa-basi lelaki itu semakin dekat denganku, berjalan dengan santainya. Sial, aku benar-benar tidak bisa kabur. Aku sudah terpojok digang kecil sialan ini. Kalaupun aku berteriak, sudah pasti tidak akan ada yang bisa mendengarku.  Aku semakin panic, dan berusaha mencari jalan keluar. Aku menoleh kesetiap arah, mencari sela untuk keluar.

Pria tampan ini mendorongku ke dinding bata di belakangku, dia meletakkan telapak tangan nya pada dinding di kedua sisi kepala ku dan  lebih dekat kepadaku sehingga membuatku tidak dapat melarikan diri darinya. Dia menyentuh wajahku dengan tangannya. Sekali lagi, aku melihat tawanya, ditambah dengan sorot ketulusan.

   "Biarkan aku pergi." Aku melirik marah padanya. Dia menatapku dengan ekspresi sangat teduh. Aku menundukkan kepalaku, hati-hati mengawasinya. Ia masih tersenyum. Sulit dipercaya seseorang setampan ini begitu nyata. Aku memejamkan mata dan menarik napas pelan lewat hidung, sadar aku mengertakkan gigi.

   "Kurasa teman-teman dan keluargamu akan marah padaku karena akan menculikmu." Bisa kurasakan matanya menatap mataku

"Aku mungkin saja takkan mengembalikanmu," katanya sambil mengedip jail. Aku menelan ludah.  Ia tertawa. "Kau tampak ketakutan."

"Tidak," kataku, tapi konyolnya suaraku bergetar. "Sebenarnya aku terkejut... apa yang menyebabkan kau ingin menculikku?" Aku takut dan berusaha berani disaat yang sama. Dan itu benar-benar gagal.

"Aku capek berusaha menjauh darimu. Jadi  aku menyerah." Ia masih tersenyum, tapi matanya yang bagaikan laut itu tampak serius.

"Menyerah?" ulangku bingung. Apa yang dimaksudnya dengan 'menyerah'? Apa dia menyerah mengikutiku dan memilih melecehkanku ditempat sepi ini?

"Ya, menyerah berusaha tidak peduli padamu. Sekarang aku hanya melakukan apa yang kuinginkan, dan membiarkan semuanya terjadi sebagaimana mestinya." Senyumnya memudar ketika ia menjelaskan, dan suaranya terdengar serius.

Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan pemuda aneh ini. "Kau membuatku bingung." Aku menunduk memandang tanganku yang gemetaran, tak yakin apa yang harus kulakukan.

Jelas aku benar-benar ketakutan. Apa lagi fakta-fakta yang diberitakan di tv. -Seorang wanita diperkosa oleh sekawanan pencuri-. Kalau pria ini benar-benar pencuri, apa dia.... Tidak, itu tidak akan terjadi padaku.

-Pria malang yang dimutilasi setelah selesai dirampok- tidak, itu tidak akan terjadi padaku.

-gadis malang terbunuh karena keinginan balas dendam. Tidak, hal itu tidak akan terjadi padaku.

Fikiran-fikiran aneh itu selalu berputar-putar diotakku. Cepat-cepat aku mengenyahkan fikiran kotor itu.

Senyum menawan itu muncul lagi. "Aku selalu ingin berkata banyak kalau bicara denganmu, setelah kerelaan  aku menunggumu."

"Aku tak tahu apa maksudmu," kataku dingin. "Lagipula, aku yakin kau salah."

"Aku tidak suka bertele-tele." Kami bertatapan, tanpa tersenyum. Ia memandang lewat bahuku, lalu tanpa diduga mencemooh.

"Kau sedang melucu ya?" aku menyelanya. Wajahku jadi basah kuyup saat menengadah memandangnya, tepat dimatanya.

Begitu singkat. Pria didepanku mencibir dan tiba-tiba mengeluarkan taring tajamnya. Jantung ku serasa berhenti berdetak saat melihat 2 taring tajam digigi atas cowok itu. Aku menaruh kedua telapak tanganku ke bibirku, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku gemetar sambil mengangkat mataku melihatnya. Aku melihat wajahnya, dan akhirnya matanya, aku bisa merasakan wajahku perlahan memucat.

Matanya bersinar jail. "Izinkan aku menyelesaikannya."

Aku menggigit bibir, dia mengatupkan kedua telapak tangan serta mengaitkan jemariku, sehingga aku tak bisa melakukan hal-hal berbahaya.

Aku membuka mataku lebar-lebar. Takut dengan apa yang akan dia lakukan padaku. Aku berusaha berteriak sekencang-kencangnya. Minta pertolongan kepada siapapun, apapun. Aku berusaha berlari, tapi cengkeraman ditangannya begitu kuat. Mahluk apa ini?

Nafasku langsung tercekat saat dia mendekatkan bibirnya ke leherku. Seketika aku menegang, aku berusaha kabur, tapi yang aku rasakan malah perih yang amat sangat dileherku. Dia tidak memberiku kesempatan lagi untuk berbicara. Dan tanpa sadar, pandanganku buyar dan jatuh terkulai lemas ditanah.

My Life With a VampireWhere stories live. Discover now