"Ya udah iya, maafin tante ya. Udah jangan nangis, Alby sayang." Erina mengusap punggung Alby dengan lembut. Sudah begini, mereka pasti akan berbaikan lagi.

Alby menoleh pada Erina lalu menganggukkan kepalanya, tapi airmata masih keluar dari matanya. "Alby mau belajar,"

"Sama ayah aja belajarnya. Mau belajar apa?" Edgar mengusap kepala Alby, menghapus jejak-jejak airmata di sana.

"Belajar baca."

"Ya udah, nanti sama ayah ya. Ayah mandi dulu."

"Alby mau berenang."

"Sekarang? Ayah capek, nak. Besok aja ya sama oma sama tante Rina."

Alby mengangguk tanda bahwa ia tidak protes karena keinginannya baru besok bisa terpenuhi.

"Ya udah, sini sama tante. Kita makan Cheese cake-nya oma."

Alby turun dari gendongan ayahnya dan menyambut uluran tangan Erina. Mereka keluar dari kamar dengan akrab, melupakan bahwa tadi mereka bertengkar karena hal kecil. Renata menggelengkan kepalanya melihat putrinya bungsunya yang masih terbilang remaja itu. Sifatnya memang berbanding terbalik dengan Edgar yang mandiri. Usia mereka memang terpaut sangat jauh. 17 tahun.

Ya, Renata hamil Erina di usianya yang sudah terbilang tua. Ketika ia menikah, dokter memang mengatakan bahwa ia sulit untuk mendapatkan anak. Kehamilan Edgar terjadi setelah 5 tahun menikah dengan usaha yang keras, ia dan almarhum suaminya akhirnya bisa memiliki seorang anak. Saat itu mereka sudah merasa bahagia hanya memiliki satu anak, tapi sepertinya Tuhan masih menyayanginya dengan memberikan satu lagi anugrah terindah kepada mereka, Erina hadir ketika Edgar sudah menginjak usia 17 tahun.

Aneh memang memiliki adik di usia segitu, tapi Edgar juga merasa bahagia akhirnya ia tidak sendirian. Ia memiliki seseorang yang bisa ia lindungi, tapi itu setelah Alby lahir, orang yang ingin ia lindungi pun bertambah.Saat itu Edgar berusia 25 tahun ketika ia merasa sudah matang, sehingga memutuskan untuk menikahi pacar yang sudah ia pacari selama 3 tahun. Sayangnya pernikahan itu tidak berlangsung lama, Istrinya harus meninggal sesaat setelah melahirkan Alby ke dunia ini. Hidup Edgar hancur saat itu, wanita yang ia cintai pergi untuk selamanya, namun ia bertahan demi putrinya. Gadis mungil yang dianugrahi otak yang berbeda.

"Ed, mama mau ngomong sesuatu." Renata berjalan mengikuti Edgar yang hendak menuju ke kamarnya.

"Kenapa ma?"

"Sudah 8 tahun, Ed."

Edgar berhenti melangkah, ia tahu kemana arah pembicaraan sang mama. Sudah sering sekali ia mendengar permintaan mamanya ini. Ratusan mungkin, tapi ia tetap bertahan dengan penolakannya. Tetap teguh pada pendiriannya.

"Ma, aku udah bilang. Aku belum mau menikah lagi."

"Tapi sampai kapan?" Renata berkeras. "Ed, mama sudah tua. Bukannya mama mengeluh atau gak suka ngejagain Alby. Cuma, mama sudah tua. Berdiri lama untuk masak aja asam urat mama udah kambuh, belum lagi Alby makannya selalu milih dan Bik Sum gak bisa masak makanan kesukaan Alby. Mama ga bisa terus-terusan jagain Alby. Belum lagi, Alby sama Erina sering berantem. Mama udah tua, nak. udah gak sanggup ngurus yang beginian lagi."

Edgar menggigit bibirnya. Mamanya memang benar, Edgar tidak buta sehingga tidak bisa melihat seperti apa kelelahan yang dihadapi oleh ibunya ini. Belum lagi, Alby selalu manja pada neneknya jika Edgar tidak ada di rumah. Erina? Jangan diharapkan, mereka selalu bertengkar jika tinggal berdua saja. Ia tidak tega sebenarnya melihat mamanya kelelahan, tapi menikah lagi?

"Edgar cari baby sister deh ntar buat jagain Alby."

"Alby gak butuh baby siter, Ed. Dia butuh seorang ibu," tegas Renata. "Alby itu anak perempuan, ia butuh didikan seorang wanita. Bagaimana menghadapi hal-hal sensitive tentang wanita, bagaimana jika kelak menstruasi Alby datang. Apa kamu bisa menanganinya? Butuh penjelasan dari seorang ibu."

[SUDAH TERBIT] An Eternal VowМесто, где живут истории. Откройте их для себя