Part 1 - Perjodohan

90.8K 5.2K 152
                                    

Enjoy...


~~~

"Huuhuhu.. Hiks..hiks.." Suara tangisan gadis berusia delapan tahun itu pecah di kamar tidurnya, tepatnya di atas kursi belajarnya.

"Gak usah pake nangis, Alby. Tante cuma tanya 1 + 1 berapa. Bukan nangis." Erina, sang tante yang tadinya menemaninya belajar dengan sangat tekun dan tenang berubah menjadi kesal karena Alby yang tidak bisa menjawab tertanyaannya. Masalah hitungan yang sangat mudah dan sederhana seperti ini selalu tidak bisa dijawab oleh Alby.

Guru Privat terakhir yang dicari oleh ayahnya memang sudah mengatakan untuk lebih bersabar dalam menghadapi Alby ketika sedang belajar, jangan terlalu memaksanya untuk menjawab jika dia tidak bisa, tapi ini Erina. Wanita yang tidak pernah bisa bersabar menghadapi siapapun termasuk keponakan kesayangannya sendiri.

"Nggak tau.." Alby semakin kencang menangis dengan mengusap airmatanya yang membanjiri pipi tembamnya yang menggemaskan.

"Kamu ya, gimana mau bisa kalau lagi belajar ujung-ujungnya selalu nangis. Masa 1 + 1 aja nggak bisa? Belajar makanya." Erina masih saja belum sepenuhnya memahami bagaimana seharusnya menghadapi anak yang sensitive itu.

"Udah-udah. Berhenti belajarnya." Suara lembut seorang wanita paruh baya terdengar dari pintu kamar Alby. "Erina, yang sabar donk ngajarinnya. Jangan dikit-dikit marah."

"Albynya juga dikit-dikit nangis ma." Erina merajuk pada ibunya. Usia memang sudah dewasa. 18 tahun, tapi karena Erina merupakan anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan ia cenderung manja kepada orang tuanya, terlebih lagi kepada kakak laki-lakinya. Edgar, ayah Alby.

"Udah. Alby sama oma sini yuk. Oma masak Cheese Cake." Renata mengulurkan tangannya pada Alby yang disambut gelengan kepala oleh gadis kecil itu. "Alby mau apa? udah dong nangisnya."

Alby lagi-lagi menggelengkan kepalanya, airmata masih terus keluar melalui bulu matanya yang lentik. Jika sudah begini, tidak ada yang bisa meredakan tangisannya kecuali Edgar atau Alby yang sudah lelah menangis. Cheese Cake kesukaan pun tidak bisa membuatnya diam, selama gadis itu masih merasa tidak nyaman.

"Alby nangis kenapa?" Suara bariton seorang laki-laki akhirnya muncul di ambang pintu.

Renata menghembuskan nafasnya lega, menoleh ke arah pintu dimana Edgar, putra sulungnya masuk seraya mengendurkan dasinya dan membuka kancing teratas kemejanya. Wajahnya yang tampan terlihat lelah karena seharian bekerja di kantor. Lelah memang, tapi melihat Alby menangis akan mengurangi rasa lelah itu.

"Tuh, ayahnya pulang." Renata menoleh ke arah Alby yang masih menangis di atas kursi.

Edgar mencium tangan ibunya sebelum menghampiri anak gadisnya, berlutut di lantai dan menarik kursi yang berroda itu ke arahnya. "Anak ayah kenapa nangis?" ujarnya lembut.

"Tante Erin tuh," rengek Alby. Kedua tangannya memeluk leher ayahnya dan Edgar langsung berdiri, membawa Alby ke dalam gendongannya. Alby memang sudah bertambah besar dan tubuhnya juga semakin berat, tapi itu tidak membuat Edgar kesulitan menggendong putrinya.

"Yeh, kok salah tante. Kamu sendiri kok yang nangis, ditanya 1+1 aja nggak bisa jawab malah nangis." Rina protes karena Alby mengadukan dirinya pada Edgar.

"Erin, udah ah. Ribut mulu sama Alby," tegur Renata.

Edgar menatap adiknya dengan mata yang menyipit, tanda bahwa ia marah. Kenapa acara belajar bersama itu selalu berakhir dengan tangisan? Alby tidak pernah menangis jika belajar dengan guru privatnya. "Kamu tau dia tidak bisa dipaksa. Jangan dipaksa."

Erina mendesah. Ia memang salah karena tidak bisa lebih sabar, tapi ia Gregetan tiap kali Alby tidak bisa menjawab pertanyaannya padahal hanya pertanyaan mudah. Semua anak kelas satu SD pun bisa menjawabnya.

[SUDAH TERBIT] An Eternal VowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang