Prolog

109K 5.5K 119
                                    

Cerita ini spesial buat Neinilam Gita yang selalu rajin nanyain Abigail dan yang bantuin cari judul...^^ Semoga suka

~~~

Rumah itu sudah mulai sepi. Tenda bernuansa biru muda dan pink yang dihiasi oleh bunga-bunga cantik mulai dibongkar atas perintah sang pemilik acara. Terlalu marah untuk terus melihat dekorasi yang tadinya indah, tapi membuat sang pemilik acara harus menanggung malu pada semua tamu dan sanak saudara yang sudah datang. Suasana yang ramai dan penuh dengan gelak tawa seketika gempar dengan bisikan dan ucapan ikut bersedih. Suara tangisan dari beberapa sanak saudara tidak lagi terdengar, hanya ada satu yang masih betah duduk melamun dengan dandanannya yang masih utuh.

Wanita itu masih memakai kebaya putihnya dengan dandanan yang masih lengkap, sanggulnya masih utuh. Riasan di atas kepalanya pun belum tersentuh - pakaian pengantinya. Ya, seharusnya ia menikah hari ini, tapi apa yang terjadi pada detik-detik terakhir? Seharusnya mereka menikah, tetapi kekasihnya tidak datang. Tidak pernah datang untuk mengucapkanbijab kabul itu.

Ada banyak ketakutan yang wanita itu rasakan ketika sadar bahwa kekasihnya terlambat, apa dia hanya tersesat? Atau mengalami kecelakaan? Kenapa teleponnya tidak diangkat? Kenapa dia menghilang? Tapi, keresahan wanita itu terjawab sudah dengan diterimanya satu pesan dari sang kekasih. Pesan yang berisikan bahwa laki-laki itu belum siap menikah dengannya. Tidak lupa kata maaf beribu maaf diucapkan oleh sang kekasih, tapi apa maaf saja cukup untuk melupakan apa yang sudah laki-laki itu lakukan padanya?

Kenapa laki-laki itu harus pergi di saat akad nikah akan dimulai, bukan dua bulan sebelum undangan tersebar, atau seminggu sebelum panggung telah terpasang, atau dua hari sebelum wanita itu bertanya apa kau sudah siap? Apa salah dirinya sehingga ia harus menerima perlakuan seperti ini dari kekasih yang ia cintai?

Ditinggal di hari pernikahan oleh kekasihnya sendiri merupakan hal terakhir yang Almira pikirkan. Jelas saja, selama persiapan pernikahan ia selalu dilingkupi oleh perasaan bahagia. Haruskah ia berpikiran buruk tentang calon suaminya yang kemungkinan akan membatalkan pernikahannya secara mendadak seperti ini? Tidak, pikiran seperti itu sama sekali tidak ada. Sekarang hidupnya telah hancur, ia menorehkan rasa malu di wajah kedua orang tuanya.

Apakah dia sedih? Rasanya lebih dari sekedar sedih. Ia tidak bisa bereaksi apapun selain duduk termangu dengan tatapan kosong. Airmata memang sudah dari tadi jatuh membasahi pipinya, tapi tidak melunturkan makeup-nya yang benar-benar tahan air itu. Hanya noda hitam dari airliner di bawah matanya yang membuat Almira terlihat menyedihkan. Kakak perempuannya hanya bisa mengusap lengannya berkali-kali untuk membuatnya lebih baik, tapi apa ia bisa menjadi lebih baik setelah ini? Tidak.

"Dek, yang kuat ya dek." Clara masih terus mengusap tangan adiknya dengan sesekali menyeka airmatanya. Siapa yang tidak akan menangis melihat satu-satunya adik yang ia miliki ini harus menanggung malu serta luka seperti ini.

"Salah aku apa sih mbak? Kenapa dia tega banget sama aku?" Almira menatap kosong lantai yang menjadi pijakan kakinya. Sejak tadi ia sudah berusaha untuk membuat lubang di lantai itu agar ia bisa menyembunyikan dirinya di sana.

Clara memeluk adiknya dan menyandarkan dagunya di bahu mungil Almira. "Kamu gak salah, Si kurang ajar Bima itu aja yang gak punya hati."

Airmata kembali jatuh di pipi Almira. "Apa artinya hubungan yang kami jalani selama dua tahun ini mbak? Apa alasannya untuk lari di hari pernikahan kami? Selama satu tahun kami terus membicarakan masalah pernikahan, bahkan Bima yang paling semangat menyambut penikahan kami. Tapi, kenapa? Kenapa malah dia yang kabur di saat ayah akan menyerahkan aku sama dia?" Luapan pertanyaan yang terus berkeliling di kepalanya, Almira keluarkan saat itu juga.

"Gak ada yang tahu apa yang akan terjadi, dek. Jangan jadikan ini sebagai akhir dari hidup kamu. Jadikan ini sebagai awal untuk kamu bisa belajar nanti ke depannya. Belajar dari pengalaman adalah guru terbaik." Clara sekali lagi mencoba untuk membuat adiknya tidak bersedih, tapi siapa yang tidak bersedih jika diperlakukan seperti ini?

[SUDAH TERBIT] An Eternal VowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang