"Aku ngebuat ayah sama ibu malu."

"Hush. Nggak ah. Ayah sama ibu nggak malu. Marah yang pastinya, tapi mereka sebagai orang tua nggak akan malu. Apalagi bukan anaknya yang salah. Jadi nggak boleh mikir gitu."

Almira mendesah dan mencoba menganggukkan kepalanya. Sudahlah, jika memang harus seperti ini apalagi yang bisa ia lakukan? Menangis berhari-hari pun tidak akan membuatnya merasa lebih baik, tidak akan membuat kejadian ini berubah. Semua sudah terjadi dan ia hanya bisa menerimanya dengan lapang dada. Sebagai seseorang yang hidup dengan mandiri sejak kecil, ia selalu bisa mengatasi masalah yang terus mendatanginya dengan senyuman. Ibunya selalu mengajarkan padanya untuk selalu bisa mengambil sisi positif dari masalah yang ia hadapi. Ihklas, maka hatimu akan selalu merasa tenang.

"Mbak," panggil Almira.

Clara melepaskan pelukannya dan menatap adiknya penasaran. "Ya, dek?"

"Bantuin lepasin kondenya. Capek nih kepalanya," keluh Almira.

Clara tertawa pelan dengan airmata kembali jatuh di pipinya. Seperti inilah Almira, sesulit apapun masalah yang mendatanginya ia selalu bisa mengatasinya dengan baik. Almira adalah wanita yang periang dan selalu tertawa, hatinya begitu hangat dan selalu baik pada semua orang. Almira hanya akan menangis sekali hingga puas dan matanya bengkak. Setelahnya, ia akan kembali ceria. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah, Almira selalu mengatakan seperti itu. Clara tidak pernah habis pikir, kenapa Bima tega menyakiti adiknya yang berhati lembut ini?

Clara menghapus airmatanya dan mulai menarik penjepit rambut yang jumlahnya puluhan itu dari kepala Almira. "Abis ini kita liburan ke puncak yuk? Mumpung kamu udah cuti. Sekalian refreshing."

"Aku juga mau potong rambut ah mbak. Buang sial," ujar Almira.

"Ide bagus, sekalian cari cowok baru di mall."

Almira diam setelahnya. Mencari cowok baru? Apakah dia bisa mencari laki-laki lain? apakah dia siap untuk menjalin hubungan lagi dengan laki-laki setelah ia gagal untuk menikah? Akan berbeda rasanya jika ia sudah menikah dan bercerai. Tapi ini, ditinggal sebelum ijab kabul disebutkan. Tidakkah itu membuat trauma tersendiri untuk Almira? Takut untuk menikah, takut untuk ditinggal lagi di hari pernikahannya.

***

"Ibu Almira." Sapa Pak Juno - seorang guru olahraga di SD Pelita. Tempat Almira bekerja sebagai guru SD. Profesi yang tadinya ditentang oleh ayahnya karena Almira bisa lebih dari sekedar menjadi seorang guru SD. Dan tentu saja, Ayahnya hanya bisa mengikuti keinginan putrinya itu ketika Almira mengatakan apa ada yang salah ketika menjadi seorang guru? Ada banyak pahala yang akan ia tabung dengan mengajari ilmu yang ia miliki kepada anak-anak.

Dari ketiga anaknya, Almira memang menjadi anak yang hatinya paling lembut dan senang membantu. Satu-satunya sifat yang diturunkan oleh istrinya kepada Almira. Karena itu, ayahnya begitu menyayangi Almira. Bukan berarti dia tidak menyayangi kedua anaknya yang lain. Hanya saja, hal itu juga yang membuatnya jatuh cinta pada istrinya dulu. Melihat Almira, selalu mengingatkannya pada masa-masa perjuangannya mendapatkan istrinya.

"Pagi pak Juno." Almira menyapa balik.

"Ibu sudah mengajar lagi?" tanya Pak Juno sopan.

"Iya nih, Pak. Bosan kalau diam di rumah aja. Mending ke sekolah ngajar anak-anak."

Pak Juno menganggukkan kepalanya lalu mengusap pelan tengkuknya canggung. "Ikut sedih ya, bu. Sama kejadian kemarin?"

Almira hampir mendesah sebelum ia tersenyum. Ini sudah kesekian kalinya ia mendengar ucapan ikut prihatin karena batalnya pernikahan itu. Ia bosan mendengar kalimat seperti itu, ia akan lebih baik jika orang-orang melupakan saja kejadian kemarin dari pada harus terus menerima ucapan seperti ini. Itu membuatnya terus mengingat Bima.

[SUDAH TERBIT] An Eternal VowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang