NAGA DI TANAH JATAYU

Start from the beginning
                                    

"Saat itu, dalam pelariannya menuju Pratala -dasar dunia-, ayah berusaha melindungi ibu yang sedang mengandungku dari kejaran bangsamu. Sayangnya, sesampainya di Dwarapratala,  jurang menuju dasar dunia, akh kau tentunya tahu, ayah dihadang Jatayu bernama Garuda, dan aku yakin dia adalah leluhurmu, kasta Garuda".

"Auw, pelan-pelan kisanak" ujarku spontan saat ia menyentuh sisik-sisikku yang tercabut.

"Oh maaf. Aku hanya ingin tahu sedalam apa lukamu" ujarnya menyesal.

"Teruskan ceritamu".

Aku menarik napas, ku coba mengingat-ingat kembali kisah yang sering diperdengarkan ibu.

"Saat itu, terjadi pertarungan yang sangat sengit antara tuan Hyang Bayu melawan tuan Hyang Bhumi. Pertarungan mereka berdua berjalan berimbang, meskipun ayah lebih banyak bertahan, karena tak ingin meninggalkan perlindungannya pada ibu".

"Namun sayang, kalian para Jatayu tidak bersikap ksatria. Ayah yang seorang diri, dengan beban melindungi ibu, dihajar habis-habisan oleh sepuluh Jatayu. Hingga akhirnya ayah terdesak mundur. Sambil membopong tubuh ibu yang hampir melahirkanku, ayah melata memasuki Dwarapratala, mengakibatkan perlindungannya terbuka, dan si Garuda licik langsung merapal Ajian Bayusayakha Mukti, dimana pada ujung panah anginnya terdapat sebentuk logam tak beraturan berwarna emas".

"Menurut ibu, ayah menyadari bahaya yang mengancamnya, namun ia lebih memilih menggunakan tubuhnya sebagai tameng untuk ibu. Hingga ayahpun terluka di sisi kiri tubuhnya, yang mana luka itu hingga kini tak kunjung sembuh, dan setiap malam ayah merasakan lukanya teramat panas. Menurut kakek, itu dikarenakan oleh racun Bayusayakha Mukti". Aku mengakhiri ceritaku.

"Saka, aku turut prihatin dengan keadaan ayahmu".

"Ketahuilah, Jatayu bernama Garuda yang melukai ayahmu adalah ayahku". Pengakuannya mengejutkanku.

"Dan akuadalah Garuda Isyana, putra pertama Garuda. Dan Jatayu yang menangkap dan menyiksamu adalah adikku, Garuda Indra. Saka, aku mohon maaf atas perlakuan keluargaku padamu". Ucapannya terdengar tulus.

Aku hanya terdiam mendengar pengakuannya. Terkejut atas pengakuan yang tidak kusangka-sangka ini.

"Aku akan mengantarmu menuju Dwarapratala" ujarnya memecah keheningan yang tercipta usai pengakuannya.

"Namun kita harus menyembuhkan lukamu terlebih dahulu". Setelah berujar demikian ia menyayat telapak tangan kirinya menggunakan sebuah lempengan tak berbentuk berwarna emas, yang wujudnya seperti... cangkang telur.

Aku terus mengawasinya dengan takut dan takjub karena lukanya tidak segera menutup, sebagaimana seharusnya. Akibatnya, darah segar berwarna merah menyala menetes dari sayatan tersebut, dan ditampungnya di lipatan daun Dewadaru curianku.

Melihatku keheranan, iapun berujar "lempengan emas ini adalah cangkang telurku dulu. Kami, dapat terluka parah tanpa bisa tersembuhkan, kecuali dengan ramuan daun Dewandaru bercampur getah buahnya, hanya jika kami dilukai menggunakan cangkang telur kami".

"Cangkang telur kami akan mengakibatkan luka dan keracunan yang parah bagi bangsa lain, dan cangkang telur ayahku lah yang melukai dan meracuni ayahmu, maaf".

"Minumlah! Niscaya lukamu akan sembuh" perintahnya sambil menyodorkan lipatan daun Dewandaru berisi darahnya.

"Tapi.."

"Ayo cepatlah, kita tidak memiliki banyak waktu. Sebentar lagi Indra beserta para Gardapathi-nya akan segera menyusul kita". Ujarnya meyakinkanku.

NAGA DI TANAH JATAYUWhere stories live. Discover now