Part 4

6.2K 867 27
                                    

Jadi menjauhlah Kang Sae Rin.

Rin membuka kelopaknya perlahan. Kalimat yang diucapkan Jimin di sekolah mengganggu tidurnya. Kalimat itu tak hentinya menghantui dirinya. Dia pikir tidur akan membuatnya lupa akan hal itu, tapi realitanya dia salah besar.

Rin menolehkan kepalanya kesamping kanannya, menatap jam weker diatas nakasnya itu yang menunjukkan pukul 9 malam. Perempuan berambut panjang itu menghembuskan nafasnya kasar, dia merasa tak mood sejak sore. Sekelebat ide berjalan-jalan ditepian sungai membuatnya langsung bangkit. Tapi..

Tunggu..apa ini? Badanku..

Badannya sangat lemah, hampir tak bisa digerakkan. Energinya diambang batas. Dia pun merasakan pegal yang teramat dikedua pegelangan dan lehernya. Dia mengangkat lengannya dan melepaskan plesternya dengan cepat. Matanya tertutup seketika melihat pergelangannya yang semakin ungu.

Rin menenangkan dirinya, mengatur nafasnya, merilekskan tubuhnya. Perlahan dia mencoba bangkit dan berhasil terduduk. Dia mencoba berdiri yang membuat kepalanya pening dan limbung. Untung saja dia bisa dengan cepat menyeimbangkan tubuhnya itu.

Dia tertatih menuju kamar mandinya untuk sekedar menyegarkan matanya. Setelah itu dia mengambil jaketnya dan pergi menuju halte dekat rumahnya. Di dalam bus dia hanya terdiam menatap keluar dari jendelanya. Pikirannya? Selalu pada lelaki itu. Jujur, Rin tentu mengabaikan permintaan Jimin untuk menjauhinya. Bukan karena hanya tuntutan dia harus mendekati Jimin. Tapi karena dia mulai terbawa oleh sosoknya.

Rin selalu berharap dia tak pernah bertemu ketiga vampire itu. Bila dia boleh memilih, waktu itu dia lebih memilih untuk mengorbankan dirinya saja pada makhluk haus darah itu. Daripada mendapat pertolongan yang dimana dia harus membayar pada akhirnya.

Bus yang ditumpangi Rin berhenti, membawa ketiga penumpang baru. Pemuda berambut blonde itu langsung mengambil tempat disamping Rin, seakan-akan sebelumnya dia sudah tau keberadaan Rin disini. Dua lainnya duduk tepat dibelakang Rin.

Rin yang saat itu belum menyadari keberadaan mereka, masih menatap keluar sampai makhluk blonde itu menyadarkannya dan membuatnya terlonjak.

"..k–kalian" Rin bergidik ketakutan.

" Ssst..tenanglah, kami hanya menengokmu" ucap lelaki disampingnya itu.

Lelaki itu mendekatkan jarinya pada leher Rin yang membuat Rin mengelak, namun Rin bisa apa? Jari dingin itu membuka plesternya perlahan, memperhatikan dua titik yang membuat sekitarannya memar.
Dua lelaki dibelakang kursi Rin berdiri untuk menonton.

"Suga, kau terlalu kasar ternyata" kekeh lelaki brunette itu.

" Itulah caraku menikmatinya" sinis Suga.

"Kau juga kasar Kim" ledek lelaki tertua itu.

" Jin, setidaknya aku tak sekasar dia" tunjuk Kim pada Suga.

"Sama saja itu tetap menyakitkan bodoh" jawab Jin.

Suga perlahan menekan luka yang dibuatnya itu. Dan itu membuat Rin meringis kesakitan. Suga semakin menekankan jempolnya yang membuat tangan Rin memegang tangan lelaki blonde itu memohon agar menghentikkannya.

" Apa maumu?" tanya Rin tertunduk lemas.

"Aku hanya tak suka kau memikirkan si rambut merah itu, hentikanlah memikirkannya yang membuatmu peduli padanya berangsur-angsur. Kau bisa menggagalkan rencana dan kesepakatan kita. Aku yakin kau tak ingin merasakan sakit yang lebih lagi. Begitu bukan Rin?" Suga mengusap luka Rin lembut, dia tersenyum sinis pada perempuan yang menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

" Ayo kita pergi" Jin menepuk Suga saat bus berhenti. Mereka bertiga memang selalu punya kesempatan membuat Rin bungkam. Apalagi didalam bus yang hanya beberapa orang saja didalamnya seperti ini. Rin takluk disetiap keadaan, baginya ini benar-benar menyebalkan.

"Kau tak apa-apa?" tanya Jin pada Suga yang sedang bersender pada batang pohon hutan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau tak apa-apa?" tanya Jin pada Suga yang sedang bersender pada batang pohon hutan itu. Namun Suga menepis pelan tangan Jin yang berada dipundaknya.

" Yang harus kau tanyai aku apa dia?" ujar Suga sembari menatap sosok lelaki yang tengah terduduk diatas dahan diatas sana, yang tersoroti sinar bulan. Jin bernafas kasar, sementara lelaki jangkung itu melompat dengan mulusnya.

"Lihatlah kalian berdua, benar-benar bodoh" Jin menyilangkan tangan didepan dadanya. "Kalian terlalu memaksakan diri, gadis it—"

" Dia hanya mirip. Dia bukan adikku, Jin. Dia hanya..mirip" Kim berjalan meninggalkan mereka berdua. Entah kembali ke sarang, entah melarikan diri. Karena tanpa sepengetahuan Jin dan Suga, kristalnya terpecah jatuh.

"Tetap saja dia tampak seperti Saeun, dasar so tegar" cibir Jin.

" Renkarnasi pun, Jimin akan tetap menjadi pilihan gadis itu" Suga bernafas kasar. "Mau itu Kim Saeun atau Kang Sae Rin, takdir sudah mempatenkan aku ada bukan untuknya, aku bukanlah orangnya.."

Suga berjalan melewati Jin begitu saja, Jin hanya menatap nanar punggung lelaki pendek itu. Bila menengok kebelakang, Jin benar-benar tak habis pikir. Mereka yang dulu tak pernah terpisahkan kini menjadi musuh seutuhnya. Canda tawa dimasa lalu hanya menjadi history sekarang. Seru riak ramai dari ketujuh sosok dibawah satu atap sekarang hanya bungkam yang ada.

Dulu berbeda dengan sekarang. Sekarang tak ada kata maaf, hanya penyesalan dan dendam yang melingkupi. Tak ada kesabaran, nafsulah yang membutakan. Tak ada uluran tangan, pukulanlah yang mengeras. Tak ada kebaikan, hanya kepicikkan dan kegelapan. Menoleh pun enggan, berhadapan pun memuakkan, ampunan tak pernah ada. Hanya menyalahkan, dan menuduh. Alesan tak diterima lagi. Semua salah, amarah dan rasa sakit begitu sulit dijinakkan setelah melebur bersama.

Jin hanya tersenyum miris. Sejauh apapun mereka pergi, jejak masa lalu takkan terhapus sampai kapan pun. Bayangan itu akan terus mengikuti menjadi bukti keadaan masa kini. Dan itu semua akan menjadi penuntun jalan masa yang akan datang.

Disisi lain, Rin tengah berjalan ditepian sungai han. Semilir angin tak jarang membuat surainya berantakan. Suhu yang dingin membuatnya semakin memasukkan tangannya kedalam saku lebih dalam lagi. Pegal dikedua pergelangan dan lehernya pun semakin menjadi-jadi. Dan itu membuatnya bergidik dan mengerang.

Rin berjalan pelan berharap moodnya membaik. Penatnya pun berangsur-angsur meluruh bersama derik aliran sungai. Ruah-riuh sekitarnya membuatnya lebih tenang.

Dia tersenyum setiap melihat dan mendengar decak tawa orang-orang sampai tiba-tiba kepalanya terserang pening. Tubuhnya mulai sempoyongan. Matanya mulai kabur.

BRUK!

Tubuhnya ambruk begitu saja saat seorang namja tepat berjalan disisinya. Namja yang sedang menikmati suasana itu dengan sigap menahan tubuh gadis itu, dia sangat khawatir dan terkejut tentu.

"Nona? Nona?!" dia mengguncang-guncangkan tubuh lemah dilingkaran lengannya itu. "No—"

Lelaki berwajah lonjong itu terbelalak diam setelah menyelipkan rambut yang menghalangi wajah Rin pada belakang daun telinganya.

"Sa–Saeun??!"

Red HairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang