02 : Known, But Unrecognized

4 2 0
                                        

~Happy Reading~

~o0o~

Sore itu, langit belum sepenuhnya jingga ketika Ayyuna dan Ghea duduk berhadapan di sebuah kafe kecil tak jauh dari sekolah. Seragam mereka masih rapi, hanya jas almater yang sudah dilepas dan dasi yang dilepas agar napas terasa lebih lega.

Aroma kopi bercampur wangi roti panggang memenuhi ruangan. Di luar, kendaraan lalu-lalang, tapi di meja mereka, dunia seolah berhenti sejenak.

Ayyuna memutar sendok kecil di dalam cangkirnya, lalu menatap Ghea dengan mata yang berbinar-binar.

"Ghe," katanya pelan, tapi tak bisa menyembunyikan antusiasme,

"Gua jadi naik gunung."

Ghea mengangkat alis. "Naik gunung... yang serius?"

"Serius banget." Ayyuna tersenyum. "Puncak Gunung Mega. Tanggal tiga satu."

Ghea langsung meletakkan cangkirnya. "HAH? Mega? Itu tinggi banget, Ay."

Ayyuna mengangguk. "Justru itu."

Ghea tertawa kecil, lalu menggeleng cepat. "Gila. Gua aja naik lantai lima mall langsung lemes. Lift mati dikit aja, jiwa gua langsung pamit."

Ayyuna tertawa. "Makanya gua mau ngajak. Kali aja lo mau ikut."

Ghea spontan mengangkat tangan. "Stop. Jangan libatin gua. Ketinggian itu musuh hidup gua." ungkap Ghea sambil meminum yogurt miliknya.

"Serius segitunya?"

"Iya. Gua pernah naik bianglala, Ay. Sampai atas gua nangis. Bukan nangis estetik ya, nangis panik."

Ayyuna terkekeh. "Oke, oke. Gua paham deh."

Ghea menatap Ayyuna lebih dalam. "Tapi... lo yakin?"

Ayyuna menarik napas, lalu mengangguk pelan. "Yakin. Ini kayak... sesuatu yang harus gue lakuin sebelum umur gue nambah."

Ghea terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Yaudah. Kalo gitu, gua doain lo selamat, kuat, dan pulang bawa cerita."

Ayyuna tersenyum hangat.

Beberapa menit kemudian, Ayyuna membuka ponselnya.

"Eh Ghe, ngomong-ngomong soal transportasi... gue masih bingung."

"Kenapa?"

"Guide-nya si nawarin buat jemput ke rumah. Tapi gua gamau."

Ghea menoleh. "Kenapa?"

"Gua pengen ketemu di basecamp aja. Biar profesional."

Ghea mengangguk setuju. "Masuk akal."

"Tapi berarti gua butuh kendaraan sendiri."

Ghea berpikir sebentar, lalu matanya berbinar.
"Eh, bokapnya kakak kelas kita, si Reygan, kan punya rentcar."

Ayyuna mengerutkan kening. "Reygan ketua basket itu?"

"Iya. Yang ketua tim basket, yang sering masuk ig sekolah."

"Oh iya..."

"Bokapnya punya usaha rental mobil. Aman, legal."

Ayyuna tersenyum. "Serius? Ada IG-nya?"

"Bentar."

Tak sampai satu menit, Ghea menyodorkan ponselnya.

Ayyuna langsung membuka Instagram itu, menimbang sebentar, lalu memberanikan diri mengirim pesan.

Beberapa chat kemudian, semuanya terasa begitu cepat. Satu mobil, satu driver, dua hari.

FRAGILE RULESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang