01 : Courage Before Dawn

Magsimula sa umpisa
                                        

Diam. Menonton berita sambil menyilangkan tangan.
Aura seriusnya kerasa dari jauh.

Ayyuna langsung gugup, jantungnya terasa berdegup kencang.

Tapi ia ingat kata-kata Fredy:

<Pelan-pelan aja Ay, yang penting kamu yakin.

Ayyuna berdiri beberapa langkah dari mereka, menunggu satu detik… dua detik… Tangannya terasa dingin, lututnya seperti mau copot.

"Ma… Yah…"
suara Ayyu hampir patah.

"Ayyu boleh bicara sebentar?"

Mama menoleh. Ayah ikut melirik, alisnya terangkat sedikit—tanda perhatian tapi juga tanda siap menginterogasi.

"Ada apa?" tanya Ayah, datar.

Ayyu menelan ludah.
"Jadi… tanggal 31 Desember nanti… Ayyuna pengen muncak ke-gunung Mega Private trip. Sama guide profesional."

Ayah langsung berhenti menonton.
Remote TV diletakkan pelan-pelan, tapi justru itu bikin tegangnya naik dua kali lipat.

"Naik gunung?" tanya Ayah dengan suara berat.
"Sendirian?"

"T-tidak sendirian. Ada guide-nya, Yah. Namanya Fredy. Dia yang atur semuanya. Ayyu cima ikut."

Mama menatap Ayyuna dari ujung mata, lalu tetap fokus pada baju-baju yang tengah ia lipat. Ayah menatap penuh, tapi tatapannya bukan marah—lebih ke-khawatir, tapi keras.

"Kamu tau gunung itu bukan mainan?"
Ayah berdiri, membuat aura ruangan makin sempit.
"Di berita tiap bulan ada aja yang tersesat. Ada yang hipotermia. Ada yang nggak pulang."

Ayyuna menunduk.
Suara Ayah pecah cukup keras sampai dada Ayyuna ikut menciut.

"Ayyuna tau Yah… tapi ini impian Ayyuna dari lama. Sekali aja, Yah. Hadiah ulang tahun buat diri Ayyuna sendiri."

Ayah berjalan mendekat satu langkah—cukup untuk membuat Ayyuna refleks mundur sedikit.

"Berapa umurmu sekarang?"

"Enam belas… mau tujuh belas."

"Nah," Ayah menghela napas berat, "Enam belas… masih anak kecil, dan gunung? orang dewasa aja masih bisa salah langkah."

Mama tiba-tiba menengahi, nada lebih lembut,
"Ayyuna sudah besar, Yah. Dia minta izin dengan baik. Mungkin ini waktunya kita kasih kepercayaan sedikit."

Ayah diam, diam yang membuat waktu terasa berhenti.

Ayyuna memberanikan diri bicara lagi, suara bergetar tapi jujur.

"Yah… Ayyuna janji bakal hati-hati. Ada guide profesional. Ayyuna bakal laporan terus. Ayyuna cuma… pengen ngerasain sesuatu yang Ayyuna impikan dari dulu, Yah."

Ayah akhirnya duduk kembali, mengusap wajahnya sebentar.

"Guide-nya bisa dipercaya?"

"Insya Allah bisa, Yah. Dia punya izin, pengalaman, perlengkapannya lengkap. Semua prosedur diperhatiin."

Hening.

Ayah menarik napas panjang, seolah sedang melepaskan kekhawatiran yang ia pendam.

Lalu dengan nada lebih pelan—tapi tetap serius:

"Kalau kamu janji jaga diri, dan kamu update terus setiap titik… Ayah izinkan."

Ayyu langsung mengangkat wajah dengan mata membesar, nyaris berkaca-kaca.

"Maksud Ayah… boleh?"

Ayah mengangguk kecil.
"Tapi satu yang ayah minta, kamu pulang lengkap. Kalau kamu hilang kabar sedikit aja, Ayah jemput kamu ke gunung itu."

Ayyu tertawa kecil tercampur haru.
"Siap Yah… makasih ya… makasih banyak…"

Ia memeluk Ayah, lalu Mama.
Suasana yang tegang perlahan berubah hangat.

Begitu masuk kamar, pintu langsung ia tutup pelan—lalu ia loncat ke kasurnya sambil nahan teriak bahagia.

Tanpa nunggu napasnya stabil, ia langsung membuka chat Fredy.

---

Fredy
Online.

Ayyuna;
"Fredy, aku berhasil izin!!"
"Ayah sama Mama izinin aku naik gunung, yeayy!!"

Fredy;
"Good job Ay, kamu hebat.
Tanggal 31 Desember kita berangkat, siapkan diri."

Ayyuna;
"Deal, Fred!! ... Beneran deal!!"

Malam itu, Ayyuna tidur dengan senyum yang nyaris nggak hilang. Bayangan puncak Gunung Mega sudah terasa setengahnya dalam genggaman.

~o0o~

.
.
.
.
.

Segini dulu yaa untuk Bab awal, tunggu next chapternya yaww😉💗💗

FRAGILE RULESTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon