James mengangguk puas, senyumnya makin sumringah.
Ia mengetik sesuatu dengan cepat di ponselnya. "Sampai jumpa lagi, Juhoon yang manis."
Ucapan itu sukses membuat Juhoon kehilangan kemampuan motorik. Ia lantas berbalik, bahkan nyaris tersandung, dan berlari kecil keluar dari kafe.
Kling.l
Lonceng pintu berdentang lembut, menandai kepergiannya.
Keonho menatap pintu, sejurus kemudian menatap meja kasir.
"...Hyung," ujarnya datar, "dia lupa bayar."
James berkedip sekali. "Oh.."
"Hyung-"
"Biarkan saja," James menepuk apron, tampak tidak peduli sedikit pun. "Untuk adik semanis itu... aku bisa mentraktirnya setiap hari." katanya seraya berlalu.
Keonho merotasi mata begitu keras sampai hampir jatuh ke belakang. Ia sungguh tidak percaya telah bekerja dengan manusia se-idiot itu. Ia baru hendak merapikan countertop tatkala suara gesekan sepatu terdengar menghampiri.
James muncul dari arah dapur, masih dengan wajah berbinar; jenis binar yang membuat Keonho ingin menyeretnya pulang dan menidurkannya seperti balita yang kebanyakan makan permen kapas.
"Aku bilang apa, Ahn," ujar James seraya meraih kain lap, pura-pura sibuk mengelap meja yang bahkan tidak kotor. "Takdir itu nyata."
"Takdir kepala otak!" desis Keonho, "hyung tahu dia kabur tanpa bayar, 'kan?"
James menghentikan gerak tangannya hanya untuk mengangguk.
"Hyung! Dia lari. Kabur. Menghilang dari radar," Keonho menyilangkan tangan di dada. "Karena malu, hyung. Kau menyerang bocah polos itu dengan flirty level dewa Olimpus."
Yang lebih tua memicingkan mata. "Aku tidak flirty. Aku hanya... ramah." katanya denial.
"Hyung, kau menyerahkan ponselmu pada pelanggan yang baru masuk tiga menit lalu, dan memintanya mengetik nomornya sendiri."
James berkedip, tampak bangga alih-alih merasa bersalah. "Tapi dia memberikannya, kan?"
"Tentu saja! Dia ketakutan! Dia polos! Dia seperti anak anjing tersesat!"
Yang dicecari malah mengulas lengkung kurva semakin lebar, seakan komentar itu merupakan pujian setinggi langit. "Lihat? Cocok sekali menjadi dewi pelangiku."
Keonho menepuk dahinya keras-keras. "Hyung, dia bukan dewi. Dia bahkan bukan gad-"
"Figur pelangi, maksudku," James buru-buru membetulkan sambil mengibas tangan elegan. "Orang yang menjembatani duniaku yang hambar dengan... ah, gadis-gadis yang dirancang ibu."
"Tapi dia seorang pemuda-"
"-yang manis, astaga dia imut sekali ketika tesenyum! Dan lagi, matanya sangat indah bagaikan bulan sabit!" seru James dengan tulus. "Kalau diibaratkan iris, dia adalah iris kuning!"
Keonho menyahut seolah telah hapal kemana kalimat itu berlabuh, "kegembiraan, ketertarikan yang berani, cinta yang bersemi namun belum di akui-"
"-wah meledek ya anak kecil!"
Yang lebih muda sekali lagi menggeleng seraya berdecak. "Ckckck, aku bukan meledek, hanya terlampau err.. muak?"
"Sialan ka-"
"-dan kau iris ungu," Keonho mendengus, lagi-lagi mendebat lelaki berdarah Tionghoa yang entah hidup di tahun berapa itu. "Setia, mendalam, penuh drama tak penting-"
"-dramaku penting," sanggah James cepat.
"-baiklah, semua drama di hidupmu penting." potong Keonho tak kalah cepat.
"Kirimkan iris putih pada gadis Yunan itu, Ahn! Aku sudah move-on,"
Keonho menghela napas panjang, menenangkan jalur respirasi yang sempat tercekat tadi.
Iris putih, katanya?
Ya memang James jarang membahasnya, akan tetapi bunga tersebut memiliki filosofi yang lembut. Yakni kesucian, pengampunan, dan melepaskan luka lama.
Sial, dibalik rasa jengkelnya terhadap James yang kerapkali memuja mitologi Yunani dan kecintaannya terhadap bunga iris, Keonho juga mengakui kalau ia mengagumi pria idealis yang satu itu.
"Untuk apa menyuruhku mengirim iris putih ke mantanmu?" Keonho menaikkan sebelah alis. "Hyung, itu pesan 'aku memaafkanmu sekaligus selamat tinggal,' Bukan salam tempel."
"Justru itu," jawab James, kini melonggarkan bahu. Senyumnya melembut, tidak lagi jenaka, namun teduh. "Aku ingin dia tahu aku sudah selesai."
Seketika Keonho terdiam.
Ada yang berubah dari sorot mata James, seperti sesuatu yang menua dengan cara yang baik. Seolah untuk pertama kalinya sejak kisah patah hatinya, James benar-benar merelakan masa lalu.
Keonho menghela napas lagi, lebih dalam. Sial.
Di balik tingkah sintingnya, James memang lelaki yang menjengkelkan, kendati juga penuh perasaan.
"Baiklah, hyung," ucapnya akhirnya. "Nanti kutambahkan dalam daftar pengiriman bunga untuk sore ini."
James mengangguk pelan, lalu senyumnya kembali melebar, kembali menjadi James versi menyebalkan.
"Oh ya, Ahn... begitu kau selesai," ujarnya sambil menepuk bahu Keonho, "ingatkan aku untuk menyiapkan pesan pertama buat Juhoon, ya?"
Keonho menatapnya jengkel luar biasa.
"Hyung, minimal tunggu dia bayar pesanan sebelum kau mulai PDKT!"
James tertawa, tawa khas pria yang sudah lama tak merasakan degup baru dalam hidupnya.
"Ahn," katanya sambil menepuk-nepuk apron.
"sudah ku katakan bukan? Untuk anak semanis itu aku bisa mentraktirnya seumur hidup."
Keonho hanya bisa mengangkat tangan putus asa ke udara.
"Terserah! Aku sudah tak mau ikut campur!"
Dan James, dasar pria penuh angan yang terlalu percaya pada mitologi, hanya bersiul santai sambil kembali ke dapur, seolah dunia baru saja memberinya warna yang selama ini hilang.
I for I R I S - F I N
Hello, it's Vall
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Of Life [Drabble]
FanfictionAda banyak cara dari Sang Dewata untuk menghadirkan cinta. Berikut dengan rasanya yang beragam. Pahit dan manis. Suka dan duka. Senang dan sedih. The Way Of Life, buku ini menyajikan beragam potongan kisah cinta. [Drabble of Kpop Random BL]
I for Iris - (JamesHoon)
Mulai dari awal
![The Way Of Life [Drabble]](https://img.wattpad.com/cover/404598891-64-k215828.jpg)