End

2 0 0
                                        

Musim semi tahun berikutnya datang perlahan.
Bunga-bunga bermekaran di tepi sungai yang sama — sungai yang dulu jadi tempat pertama kali Void dan Rika berbagi cerita, tempat mereka menertawakan hidup yang kadang terlalu serius.

Langit sore Ardanta berwarna oranye keemasan, memantul lembut di permukaan sungai kecil di belakang rumah keluarga Rika. Angin membawa aroma teh melati dan tanah basah, menenangkan seperti pelukan masa lalu yang kembali datang.

Rika berdiri di teras, rambutnya diikat sederhana, mengenakan gaun putih gading. Suaranya lembut, “Kau masih suka duduk di situ ya, Void?”

Void menatap langit tanpa menjawab dulu, hanya tersenyum kecil. “Di sini pertama kali aku sadar… rumah itu bukan cuma tempat tinggal, tapi tempat yang mau menerimamu meski kau pernah hilang arah.”

Rika tersenyum samar, lalu duduk di sebelahnya. “Kau sudah jauh sekarang, Void. Perusahaanmu sudah tumbuh pesat. Semua orang menyanjungmu. Tapi tetap saja datang ke rumah kecil ini hanya untuk duduk di teras?”

“Bukan hanya untuk duduk,” ucapnya, menoleh ke arah Rika. “Untuk memastikan alasan kenapa aku memulai semuanya… masih tetap ada di sini.”

Keheningan singkat. Suara serangga malam mulai terdengar. Di kejauhan, lampu kota mulai menyala satu per satu. Void merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna perak.

“Rika.”
Nada suaranya pelan tapi tegas. Rika menoleh, sedikit bingung, hingga melihat kotak itu terbuka — di dalamnya, cincin sederhana berhiaskan batu kecil berwarna hijau lembut, mirip warna grafik saham miliknya yang dulu jadi titik balik hidupnya.

“Selama ini aku terlalu sibuk membangun sesuatu untuk orang lain. Kali ini aku ingin membangun sesuatu… bersamamu.”

Rika terdiam. Air matanya jatuh, tapi bibirnya tersenyum. “Kau selalu datang tanpa rencana, tapi selalu membawa keputusan besar.”

Void tersenyum, menatap matanya dalam-dalam. “Itu satu-satunya hal yang tak pernah berubah dari diriku.”

Rika mengangguk perlahan, lalu menyodorkan tangannya.
“Kalau begitu, jangan pernah berubah. Karena aku juga tak ingin berubah, Void.”

Ia menyematkan cincin itu di jarinya. Sore berganti malam, dan dari jendela rumah itu tampak dua bayangan duduk bersebelahan, diterangi cahaya lampu gantung dan pantulan sungai yang berkilau.

---

Di langit Ardanta, satu bintang pertama muncul — seolah menyaksikan akhir dari perjalanan panjang seorang pria yang dulu hanya datang untuk “numpang duduk,” tapi kini menemukan tempat untuk pulang selamanya.

Pagi di Ardanta terasa damai. Burung-burung kecil bertengger di pagar kayu, sinar matahari menembus tirai tipis dan mengenai wajah Rika yang tengah menyeduh kopi. Di meja makan, laptop Void terbuka dengan grafik hijau yang stabil — tak lagi melonjak gila seperti dulu, tapi tenang, seperti dirinya sekarang.

“Masih lihat grafik tiap pagi?” tanya Rika, tersenyum sambil meletakkan cangkir di depannya.

Void mengangkat bahu. “Kebiasaan lama. Bedanya, sekarang aku lebih suka lihat kamu dulu baru grafiknya.”

Rika pura-pura kesal, tapi pipinya memerah. Ia duduk di sebelahnya, menyandarkan kepala di bahu Void. “Kau tahu? Kadang aku lupa kalau suamiku ini dulunya orang paling sibuk di Ardanta.”

“Dulu aku kejar banyak hal. Sekarang… cukup satu yang kukejar.”
“Dan itu?”
“Menjagamu tetap tersenyum setiap pagi.”

Rika tertawa kecil. “Kalimatmu makin manis. Siapa yang ngajarin?”
“Pasar saham,” jawab Void cepat, membuat Rika mendorong pundaknya sambil tertawa lebih keras.

Di luar, seorang anak kecil berlari di halaman, memegang mini drone yang Void rakit seminggu lalu. Anak itu — laki-laki berumur lima tahun dengan rambut hitam bergelombang dan mata oranye lembut seperti ibunya — memanggil riang,
“Papa! Mama! Lihat! Terbangnya tinggi banget!”

Void dan Rika keluar ke teras, menatap anak mereka dengan senyum lebar. Void berjongkok, merentangkan tangan, siap menangkap drone kecil itu.
“Kalau terus tinggi, nanti nabrak langit,” katanya sambil tertawa.

Anak itu nyengir, “Kan Papa dulu juga bilang gitu waktu kerja, ‘terus tinggi, asal jangan lupa pulang.’”

Rika menatap Void dengan mata hangat. “Dia benar-benar mirip kamu.”
Void mengusap kepala anak itu pelan. “Mungkin karena dia lahir dari dunia yang kita bangun bersama.”

Matahari naik perlahan. Di balik rumah kecil itu, sungai yang dulu jadi saksi pertemuan mereka mengalir tenang, membawa bayangan masa lalu yang kini telah berubah menjadi cerita indah — bukan lagi tentang kehilangan, tapi tentang menemukan rumah.

Void menatap ke langit sebentar, seolah menyapa seseorang yang jauh di atas sana, lalu menggenggam tangan Rika.
“Sekarang aku benar-benar pulang.”

Dan di bawah langit biru Ardanta yang luas, keluarga kecil itu tertawa — sederhana, tapi sempurna.

~ Tamat ~

Void-the green-lineWhere stories live. Discover now