ᏞᎪ ᎰᏞᎬᏬᏒ Ꭼ́ᎢᎬᏒᏁᎬᏞᏞᎬ

Start from the beginning
                                        

Ah, mengapa? Ini bukan berita yang Ice nantikan.

"Ice, aku benar-benar meminta maaf. Maaf karena ... yang kusampaikan adalah kabar buruk. Minggu kemarin, Kakak membenturkan kepalanya ke kaca. Ada beberapa pecahan kaca yang masuk ke matanya. Dan sekarang, keadaan Kak Beliung memburuk."

Demikianlah sepenggal dari keseluruhan isi surat tersebut.

Getaran pun muncul dari bahu hingga ujung tangan Ice. Napasnya kian tertahan-tahan. 'Tidak ... tidak mungkin ....'

"Ice?" Sang bibi bertanya.

"Tidak ... Kakak ... Kak Beliung ...."

Ice memalingkan wajah ke kanan bersamaan menaruh surat di meja. Isakan lolos disertai air mata yang berderai. 'Apa ... apa yang terjadi? Mengapa jadi seperti ini?'

Ia melipat kedua tangannya di meja, lantas membenamkan wajah.

Seraya mengelus pelan surai keponakannya, Jeanne bertukar pandang dengan suaminya. Isyarat agar Oliver mengambil alih surat tersebut. Pria itu mengangguk paham. Karena duduk bersisian dengan sang suami, Jeanne sedikit bergeser ke kiri agar turut membaca isi surat tersebut.

Mata mereka membelalak seketika. 'Astaga ... Beliung. Taufan ... kami mohon bersabarlah sebentar lagi. Kami usahakan kami akan ke sana secepatnya.'

Selagi wanita itu mengelus-elus Ice, Oliver meraih amplop bersegel merah. Napas bertiup selepas pria itu memahami isi surat tersebut. "Jadi begitu."

"Apa isinya?" tanya Jeanne.

"Kau tahu, Anne?" Oliver sedikit menurunkan surat tersebut supaya tidak menghalangi wajahnya. Fokusnya terpaku kepada sang istri. "Walau baru dua minggu, ternyata lukisan Ice sudah sangat terkenal di kota ini—bahkan sudah terdengar sampai ke kerajaan. Empat hari yang lalu, Ratu Satriantar sudah melihatnya sendiri ke galeri. Beliau terkesan dengan lukisan Ice. Karena maknanya yang dalam."

"Jadi surat itu, berisi permintaan Ratu untuk bertemu Ice?" terka Jeanne.

"Ya, kurang lebih." Pria itu mengangguk mantap. "Begitulah, Anne. Ice itu sama seperti Taufan. Berbakat dalam melukis."

"Tapi, sekarang bagaimana? Kita saja mendapat kabar buruk dari Taufan."

Oliver menggeleng kecil. "Entahlah."

Pandangan keduanya teralihkan pada Ice yang masih menangis—kali ini kepalanya dalam posisi miring ke kiri, memperlihatkan wajahnya yang memerah dan basah dengan mata sembap. Isakannya terdengar lebih kecil. Namun, air mata masih setia menitik melewati pipinya. Napasnya terputus-putus.

'Kakak ... Kak Beliung ... Kak Taufan ....'

⋆˚.⊹ ᯓ〖 🎨 〗

Seandainya paman dan bibi Ice tidak sibuk oleh pesanan-pesanan lukisan dari beberapa keluarga bangsawan, sepatutnya hari ini mereka berkemas guna pergi ke desa. Mereka—terutama Ice—begitu cemas akan situasi di desa.

Taufan pasti sangat repot—menangani utang-utang yang ditinggalkan sang ayah sekaligus merawat sang sulung yang rusak secara mental dan mata terluka. Sementara kondisi Beliung memburuk. Kedua matanya terluka, dan dapat berdampak pada penglihatannya yang menjadi tak berfungsi.

Sambil menggenggam erat pena berbulu cokelat, Ice menggeleng cepat disertai mata terpejam kuat. Ia berusaha menulis balasan untuk surat dari kerajaan. Menyatakan bahwa dirinya tidak dapat terus menyanggupi permintaan Ratu Satriantar.

Namun, konsentrasinya justru terpecah. Memorinya kembali pada surat dari Taufan yang diterimanya tadi pagi. Ice jadi terpikir. Apabila ia tidak dititipkan di rumah pamannya, besar kemungkinan dirinya tidak akan terurus.

Napas panjang berembus seiring Ice kembali menunduk. Matanya berupaya tetap fokus pada selembar kertas kosong di meja juga wadah kecil berisi cairan pekat berwarna hitam—tinta—di dekat tangan kanannya.

Ragu-ragu, Ice mencelupkan ujung pena tersebut ke dalam tinta. Dipaksakannya tangan kanan yang bergetar kecil itu agar menulis dengan yakin. Napasnya sedikit tercekat tatkala remaja itu mulai menorehkan pena bertinta di atas kertas.

'Kuharap pihak kerajaan mengerti. Kalau saja keadaannya tidak seperti ini, mungkin aku akan mempertimbangkannya.'

Jantungnya berdebar-debar. Keringat dingin bercucuran melalui pelipis. Napasnya agak memburu. Iris birunya bergulir menyertai tangannya yang mencurahkan setiap kata yang timbul dalam benak. Sesekali mencelupkan pena ke wadah tinta. Selama menulis, Ice merasa waktu seperti berjalan lambat. Seakan-akan turut bersedih bersamanya.

Selepas beberapa saat, Ice menaruh tangan kanannya di meja. Atensinya masih terarah pada kertas yang mengantarai kedua tangannya—di meja, tetapi kini sudah menampung deretan kata. Netranya berotasi perlahan mengikuti setiap kata yang tertuang, memastikan apakah terdapat kesalahan atau tidak.

Dirasa tak ada kesalahan, ia mengangguk-angguk kecil.

"Baiklah, sepertinya sudah." Kursi berderit sebab Ice sedikit memundurkannya—ketika bangun. Ia bertujuan menyerahkan surat tersebut kepada pamannya agar lekas disiapkan. 'Kumohon. Tolong mengerti keadaanku ....'

Sesudah itu, ia kembali ke kamar. Langkahnya terus menuju balkon. Siku kanan diposisikan di atas pagar pembatas balkon, digunakan untuk menyangga dagunya. Seusai berkedip, pandangannya diarahkan ke depan.

Seperti biasa, hiruk pikuk Kota Gur'latan menyambut netranya.

Namun keheningan tetap mengelilingi Ice. Berkebalikan dengan pikirannya yang ribut. Tertuju pada hal-hal yang pernah diujarkan oleh kedua kakaknya dahulu. Terlalu banyak.

"Tenang saja. Kalau ada yang membuatmu menangis, aku akan memberinya pelajaran! Berani sekali membuat adik kecilku menangis."

Ice menunduk kecil disusul bola matanya bergulir ke bawah. Napas bertiup perlahan dari mulut. 'Tapi sekarang, justru Kakak yang membuatku menangis. Kak Beliung ... apa maksudnya ini?'

"Hehe, jangan khawatir. Kalau Kakak saja bisa menangkap semua kelinci itu, pasti aku juga bisa menangkap mereka! Kau lihat, ya?"

Remaja itu menggeleng samar. 'Kak Taufan, aku tahu sekarang Kakak sangat kerepotan. Maaf. Maafkan aku yang tidak bisa membantu. Dan seandainya aku ada di sana, yang ada aku hanya akan menambah beban Kakak. Bukannya membantu. Maaf ....'

Bibirnya bergetar, matanya memanas, dan napasnya terputus-putus. Setitik air menggenangi matanya, kemudian meluncur pelan melewati pipinya.

Sebagaimana bunga berwarna paling terang dalam lukisannya. Tampak rapuh dan seolah-olah dapat terbang kapan saja oleh badai. Demikianlah Ice.

Tidak ada yang bisa diperbuatnya selain hanya menunggu di sudut. Menyaksikan badai dari kejauhan, yang Ice sendiri tidak tahu akan berapa lama lagi berlangsung—atau seperti apakah redanya.

Ia sekadar ... ingin bersama kedua kakaknya. Dengan mereka, seperti semuanya baik-baik saja.

⋆˚.⊹ ᯓ〖 🎨 〗

Alasan aku baru bikin ini sekarang:
Keasikan nulis Random Things + belum ada ide ❌
Aslinya idenya udah banyak (kayaknya udah lebih dari sepuluh), cuma kalo ditulis jadi cerita pasti bakal panjang banget, jadi bingung ✅

Tapi karena ada beberapa yang menarik, jadi aku catet aja buat ditulis di Random Things. Sayang kalo dibiarin. :)

Dan yap, cerita ini tuh fokusnya lebih ke emosi. Walau aku gak yakin emosinya udah kerasa atau belum.

Tapi kayaknya, nanti bikin lagi ah di Random Things, terus ada yang dieksekusi di ending. Tinggal nyari tumbal aja, hEHE. 😈 /kabur

𝐋𝐀 𝐅𝐋𝐄𝐔𝐑 𝐄́𝐓𝐄𝐑𝐍𝐄𝐋𝐋𝐄Where stories live. Discover now