Karya ini akan diikutsertakan dalam "Lomba Nulis (Boyvers)" oleh F11Ca10 .
⋆˚.⊹ ᯓ〖 🎨 〗
Langkah berhenti disusul kedua tangan menghinggapi besi melintang di atas pagar pembatas balkon. Semilir angin berembus lembut, memainkan rambut juga membelai kulit. Sepasang manik biru muda memandang kosong ke depan. Bergulir perlahan-lahan—sesekali mengerjap, tanpa menunjukkan minat.
Tak dihiraukannya hiruk pikuk yang melingkupi kota. Tak diacuhkannya orang-orang maupun beberapa kereta kuda yang melintas. Tidak pula terarah pada langit biru nan bebas awan—dengan matahari bersinar terik. Bukan juga istana besar yang berdiri dengan gagah di sebelah utara.
Tatapan remaja itu hanya ... memancarkan kekosongan. Dengan sisa kesedihan. Setelah satu bulan dilalui. Hatinya hampa dan sepi. Meskipun dirinya mengalihkan perhatian dengan melakukan sesuatu, rasanya tetap sama.
'Kapan semuanya selesai? Aku ... ingin bersama kalian ....'
Jantungnya berdebar, napas tertahan, matanya berasa panas sekaligus perih, dan dibuat buram oleh kehadiran setitik air.
'Apa sebaiknya ... sekarang aku lakukan ini saja?'
"Ice."
Remaja itu—Ice la Vourquen—mengangkat kedua bahu beserta dagunya. Cepat-cepat disekanya air mata menggunakan tangan. Tubuhnya berbalik gugup, membawanya menghadap seorang pria berperawakan tinggi dengan kumis tipis. Kemeja putih bersulam benang biru melekat di tubuh tegapnya, berpadu dengan celana panjang dan sepatu hitam berkilap yang dikenakan olehnya.
Sang paman, Oliver de Lavigne.
"Kau pasti sedang memikirkan mereka. Bahkan mungkin, kau juga sudah sangat rindu."
Selepas kepalanya menunduk, Ice mengangguk samar. "Begitulah. Aku sangat ingin membantu Kak Taufan. Tapi ... aku juga takut Kak Beliung."
Pria itu mengembuskan napas beriring dengan irisnya berotasi ke bawah. Ia tidak bisa menyangkal ini. Situasi keluarga Ice di desa sedang buruk. Itulah mengapa Ice berada di sini. Dititipkan di rumah paman dan bibinya di Kota Gur'latan—ibu kota Kerajaan Gur'latan.
Bukan bermakna paman dan bibinya enggan membantu. Sejujurnya mereka memang ingin, tetapi sayangnya kesibukan menghalangi.
"Tapi, Paman."
Oliver mengangkat kepalanya guna berpandangan langsung dengan remaja itu. "Ya, Ice?"
Ice berkedip dua kali—bola matanya berotasi ke kanan dan kiri secara bergantian—seraya menautkan kedua tangan di belakangnya. "Aku, um, aku ingin lukisanku ikut dipajang di galeri Paman. Apa boleh?"
"Lukisanmu?" Satu alis pria itu terangkat. Anggukan kecil pun menyusul. "Ya, boleh-boleh saja. Tapi, mengapa sangat tiba-tiba? Apa kau sudah yakin cita-citamu ingin menjadi pelukis?"
Diikuti bibir terkatup, Ice menggeleng tegas. "Bukan itu. Aku hanya ...."
Sang paman tak mengujarkan apa pun ketika Ice berbalik. Dengan sabar ia menunggu remaja itu kembali bercakap.
Sementara Ice melipat kedua lengannya di atas pagar balkon. Disertai tubuhnya yang sedikit membungkuk, wajahnya diposisikan pada lengan kanannya—miring ke kiri. Dagu dan pipinya sedikit tenggelam. Matanya kembali panas dan tergenang. Embusan napas menyusul.
"Aku hanya ingin menyampaikan apa yang kuinginkan. Bukan untuk dikasihani orang-orang. Tapi kalau suatu saat Kak Beliung dan Kak Taufan ke sini untuk menjemputku, lalu mereka singgah sebentar ke galeri Paman, mereka melihatnya. Aku juga tidak bermaksud menyalahkan mereka. Aku hanya ingin menunjukkan, kalau aku sangat menyayangi mereka. Aku ... ingin selalu bersama mereka, apa pun yang terjadi."
YOU ARE READING
𝐋𝐀 𝐅𝐋𝐄𝐔𝐑 𝐄́𝐓𝐄𝐑𝐍𝐄𝐋𝐋𝐄
RandomLukisan Ice memang sederhana. Namun, mereka menafsirkannya sebagai sesuatu yang bermakna dalam. Tak ada yang menyadari, bahwa Ice juga menyelipkan cerita kecil ke dalam lukisan tersebut. Sebuah cerita yang bertentangan dengan realitas. Sekadar penga...
